Saturday, December 26, 2009

Hanya Karena Dia.

“Saudara-saudara ingatlah nanti waktu kita meninggal, kita akan ditanyai oleh malaikat didalam kubur. Ada enam pertanyaan yaitu: pertama siapa tuhan kamu; kedua siapa nabi kamu; ketiga apa agama kamu; keempat kemana qiblatmu; kelima siapa imammu; dan keenam siapa saudaramu. Sedangkan jawaban yang diharapkan secara berurutan adalah: Allah; Muhammad; Islam; ka’abah; al-Quran; dan kaum muslimin”. Demikian ringkasan khutbah Jum’at hari ini, yang disampaikan khatib di masjid dekat rumah saya. Khutbah itu merupakan tafsiran yang amat dangkal dari hadis Nabi. Memang khatib menjelaskan bahwa kita tidak bisa menghafal jawaban diatas, untuk dapat menjawab pertanyaan itu kelak, kita harus melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.

Seperti biasanya saya selalu “usil” dan “kritis” atas wejangan yang saya dengarkan; termasuk khotbah hari ini meskipun menurut khatib, yang disampaikannya adalah hadis shahih yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Saya tidak mengkritisi hadis maupun pendapat Nabi, yang ingin saya kritisi adalah penafsiran hadis tersebut.

Pertama, yang akan saya kritisi adalah malaikat yang akan menanyakan katanya adalah pembantu Tuhan untuk menanyai hal-hal diatas kepada setiap orang yang meninggal. Apakah Tuhan perlu pembantu untuk “hal kecil” ini pada hal sebesar apapun masalahnya Tuhan tidak membutuhkan bantuan.

Kedua, Tuhan tahu dengan sendirinya apa yang diperbuat manusia, tidak perlu menunggu untuk bertanya sampai siorang meninggal. Semua sudah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui, dan bagi Tuhan tidak ada peristiwa linier karena Dia tidak terikat dengan ruang dan waktu.

Akhirnya, apakah azab kubur itu nyata? Atau hanya sekadar cara untuk menyuruh manusia jaman dahulu untuk berbuat baik? Sehingga untuk menjalankan perintah dan menjauhkan larangan-Nya, manusia perlu diiming-imingi dengan kemudahan dialam kubur? Perintah berbuat baik akan selalukah dikaitkan dengan imbalan pahala, seperti hidup ini layaknya berdagang, yang mengharapkan keuntungan atas apa yang sudah diinvestasikan? Alangkah rendahnya tingkat beragama kita kalau pertanyaan ini masih dijawab dengan “ya”.

Sudah saatnya kita meninjau kembali tafsiran-tafsiran dangkal. Kita harus melihat kembali maksud dan tujuan dari hadis Nabi tersebut. Beragama lebih advance adalah tidak mengaitkan imbalan atas perbuatan. Satu-satunya alasan untuk berbuat baik adalah karena Dia, semua hanya untuk cinta kepada Dia, tidak dengan alasan lain-lain. “Kalau aku menyembahmu karena mengharapkan surga Mu, maka campakkanlah aku keneraka” demikian cetusan hati seorang sufi perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah. Tafsiran Kitab Suci dan Sunnah Nabi perlu dikaji sesuai dengan kondisi saat ini. Manusia sudah sibuk dengan internet, sementara hubungan dengan Tuhan dan malaikat masih memakai modus lama.

Adli Usuluddin
Pamulang, 25 Desember 2009.

Kecerdasan Warganegara dalam Memahami Informasi.

Banyak sekali hingar bingar di negara kita, mulai dari masalah Pemilu, Bibit-Chandra, Prieta, Bank Century, dan terakhir Luna Maya. Bahkan banyak isu lain seperti keadilan bagi pencuri tiga buah cocoa, semangka dan setandan pisang. Semua yang disebutkan diatas hanya sekedar menyebutkan contoh yang menjadi isu nasional. Masalah di atas menimbulkan juga konflik dan perbedaan pendapat yang tajam, tergantung sudut pandang masing-masing. Satu hal yang jelas semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu menyelesaikan masalah dengan tuntas dan memuaskan.

Menyelesaikan masalah dengan tuntas dan memuaskan? Biasanya yang disebut tuntas dan memuaskan adalah yang sejalan dengan pendapat sendiri, yang kadang-kadang akan memunculkan masalah baru yang berbuntut panjang. Setiap orang mempunyai definisi sendiri untuk suatu ketuntasan masalah. Suatu kenyataan adalah bahwa ketuntasan diartikan secara subyektif yang sesuai dengan pendapat yang mengucapkan. Kalau sesuai maka disebut tuntas dan memuaskan, kalau tidak sesuai maka dinilai tidak tuntas.
Pendapat mainstream menunjukkan bahwa isu Bibit-Chandra akan tuntas kalau Bibit-Chandra bebas dari jerat hukum, demikian juga dengan Prieta yang juga harus bebas.

Isu pemidanaan pencuri tiga cocoa, semangka dan setandan pisang juga memberikan warna sendiri. Apalagi kalau dibandingkan dengan koruptor yang tidak terjerat hukum, membuat keadilan masyarakat terluka. Mainstream menginginkan keadilan bukan sekedar penerapan hukum, sehingga diperlukan sensitifitas dan kepiawaian penegak hukum dalam memproses suatu kejadian sebelum menjadi satu perkara di pengadilan.

Terlihat bahwa pendapat mainstream berubah menjadi kebenaran, sehingga tidak memerlukan pengujian lagi. Pendapat mainstream sangat dipengaruhi oleh pemberitaan media yang didukung oleh kecepatan komunikasi. Tidak dapat dipungkiri ini adalah buah demokrasi yaitu kebebasan pers kita yang sangat maju dan sesuai dengan fungsinya. Pers bebas menyampaikan informasi yang juga tanpa disadari menggiring pendapat umum kedalam suatu opini yang dibentuk oleh informasi tersebut. Pendapat umum ini sangat terpengaruh sekali dengan cara mengemas informasi yang disajikan.

Setiap informasi apabila dikemas dengan struktur tertentu sesuai dengan keinginan yang membuat, maka akan dengan cepat berubah menjadi penilaian mainstream. Pendapat dan penilaian yang berbeda untuk setiap isu inipun adalah produk dan kenikmatan demokrasi dimana setiap orang bisa mengemukakan pendapat dengan bebas dan merdeka. Masyarakat umum sebagai konsumen informasi harus dengan bijak dan cerdas dalam menyerap setiap informasi. Sayangnya mayoritas mainstream kita belum cukup cerdas, sehingga dengan mudah akan terpengaruh oleh opini yang belum tentu benar. Diperlukan pembaharuan kurikulum pendidikan yang tepat dan tidak tambal sulam sehingga usaha mencerdaskan rakyat menjadi optimum. Anak didik harus mulai diperkenalkan cara berpikir kritis sejak dini, dan dilatih untuk mengemukakan pendapat dengan jelas. Dasar pendidikan untuk berpikir kritis akan menghasilkan warganegara yang cerdas sehingga dapat memilah informasi yang tepat dan benar.

Pembaharuan pendidikan tidak dapat ditunda lagi, karena demokrasi yang sudah diputuskan untuk diterapkan menuntut kecerdasan warga negara, sehingga hukum dapat diterapkan dengan benar dalam mencari keadilan.

Pendidikan yang tepat adalah persyaratan mutlak untuk mematangkan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi yang taat hukum dan berkeadilan.


Adli Usuluddin
22 Desember 2009

Ayat-ayat Allah

Rasulullah bersabda : “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, yang apabila kalian berpegang teguh kepada dua perkara tersebut maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya : Kitab Allah (Al-Qur`an) dan Sunnahku (Hadits)” (HR. Imam Ahmad dan Baihaqi)

Allah pun dalam Surat An-Nisa` (4) ayat 59 berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada pemangku kekuasaan di antara kalian (ulil amri). Maka Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalilah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Hadits), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”.

Melalui Al-Qur`an dan hadits Nabi itu, Allah memberikan petunjuk dan arahan kepada hamba-Nya untuk menjadikan Al-Qur`an dan Hadits Nabi sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan berbagai masalah, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan. Umat Islam harus segera melakukan gerakan “kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah”. Gerakan ini mestilah ditopang dengan berbagai “persiapan dan alat” yang menjadikan umat Islam dapat memahami Al-Qur`an dan Sunnah Nabi dengan benar. Perjalanan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi melintasi waktu lebih dari 15 abad membuat kedua sumber utama Islam ini harus berhadapan dan ”berdialog” dengan berbagai umat dengan latar belakang keilmuan, letak geografis dan problem kemasyarakatan yang ada.


Ayat Qauliyah dan Kauniyah

Sayangnya banyak sekali umat Islam terjebak pada pemahaman dan berhenti pada disiplin ilmu keislaman saja, sehingga umat Islam –pun terjebak pada pembatasan Al-Qur`an dalam disiplin keilmuan tersebut. Umat Islam lebih menfokuskan perhatiannya pada hasil suatu tafsir dan sering melupakan Al-Qur`an itu sendiri.

Padahal Al-Qur`an sendiri menginformasikan bahwa ilmu Allah begitu luasnya dan bahkan tanpa batas. Allah berfirman :

Surat Luqman 31:27 “Dan seandainya semua pohon yang ada di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta, ditambah kemudian dengan tujuh laut, niscaya tidak akan habis kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Selain itu, yang disebut Ilmu Allah tidaklah hanya meliputi apa yang dikenal sekarang dengan “ilmu keislaman”, tetapi mencakup semua disiplin keilmuan yang ada. Al-Qur`an menginformasikan bahwa ayatullah (tanda-tanda Allah) adalah semua ciptaan atau makhluk-Nya. Ayatullah atau tanda-tanda Allah terbagi menjadi dua bagian. Pertama adalah ayat-ayat Qauliyah berupa firman Tuhan yang terangkum dalam Kitab Suci. Kedua adalah ayat-ayat Kauniyah atau ayat-ayat yang berbentuk semua ciptaan Allah. Bumi dan langit beserta segala isinya merupakan tanda-tanda atau ayat Allah. Siapa pun yang mampu memahami ayat Kauniyah dan Qauliyah maka akan mengenal (ma`rifat) Allah. Banyak ayat Al-Qur`an yang menjelaskan begitu lengkapnya tanda-tanda (ayatullah) yang bisa dipetik manusia pada penciptaan langit dan bumi. Diantaranya adalah :

Surat Yusuf 12:105 Dan berapa banyak tanda-tanda (âyât) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka berpaling daripadanya”.

Surat Yunus 10:6 “Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang dan apa yang diciptakan Allah di langit dan dibumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (âyât) bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Dua macam ayatullah di atas, mendasari manusia dalam memahami ayat-ayat Nya dan mencoba melakukan interpretasi atau tafsir. Maka lahirlah berbagai macam disiplin keilmuan. Hasil intrepretasi terhadap ayat Qauliyah melahirkan empat disiplin keilmuan yaitu: Ilmu Kalam atau Teologi (Ilmu tentang Ketuhanan dan Ilmu Logika); Ilmu Filsafat (ilmu tentang usaha manusia menemukan dan mencapai kebenaran) ; Ilmu Fiqh (Ilmu tentang aturan formal ibadah dan Hukum Islam); dan Ilmu Tasawuf (Ilmu tentang Akhlak dan Spiritualitas). Sementara pemahaman dan interpretasi terhadap ayat Kauniyah melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan (science) dan teknologi. Tetapi yang mesti diingat bahwa kedua-duanya merupakan tanda-tanda Allah (ayatullah). Maka, sesungguhnya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum menjadi tidak relevan secara hakiki, sebab sebenarnya kedua-duanya adalah interpretasi dari ayatullah. Demikian juga penghormatan kita pada ahli kedua keilmuan tersebut juga semestinya sama.


Mengembalikan Al-Qur`an pada makna aslinya

Sering terjadi orang melakukan penenjemahan yang terkadang mereduksi makna sebuah kata kedalam hanya satu pengetian. Akibatnya, membuat Al-Qur`an menjadi kitab yang sempit dan susah dimengerti serta tidak mampu mengungkapkan apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dalam menyampaikan sebuah pesan.

Muhammad Arkoun, Seorang pemikir Aljazair menulis bahwa : ”Al-Qur`an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup didalam interpretasi yang tunggal”.

Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta`wil (tafsir), do`a Rasul untuk Ibnu Abbas ini semoga juga menjadi do’a buat kita yang harus kita amini.

Wallahu a’lam.

Pamulang 12 Desember 2009.

Adli Usuluddin

Beberapa contoh terjemahan yang mereduksi arti suatu kata hanya pada satu pergertian :

  • `Adzaba, sering diartikan dengan siksa. Padahal `adzaba juga mempunyai arti menawarkan sesuatu atau menjadikan sesuatu menjadi tawar, atau juga berarti membuang kotoran. Maka `adzaba dalam arti proses pembuangan kotoran (dosa) dan menawarkan kembali sesuatu yang dahulunya bersih atau suci adalah suatu keniscayaan atau tahapan yang mesti dilalui oleh manusia sebelum ketemu atau bersatu dengan Tuhan yang Maha Suci.
  • Salima atau islam, biasanya diartikan untuk nama sebuah agama, yaitu agama Islam dan dilawankan dengan kata kafir. Padahal arti salima adalah selamat, berserah diri, damai, dan juga kepatuhan atau ketundukkan. Jadi orang disebut ber-islam ketika dia telah berserah diri secara total kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya, dan yang lebih penting orang tersebut akan memberikan rasa damai dan keselamatan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
  • `Alima, diartikan mengetahui. Orang yang mengetahui disebut `âlim, yang jamak atau pluralnya `ulama. Tapi kemudian orang hanya menyebut `ulama kepada orang yang ahli agama, dan tidak memasukkan ahli-ahli di bidang ilmu pengetahuan non agama. Padahal kata `alima berarti mengetahui sesuatu, artinya netral dan tidak khusus ilmu agama. Dari kata ‘alima juga bisa berarti alamat (‘alama). Kata alam semesta berarti alamat atau tanda yang mengantarkan kepada siapa pun yang mampu memahaminya kepada suatu tujuan yaitu Sang Pencipta alam.
  • Jahada, sering diartikan dengan jihad, lebih khusus lagi dengan jihad fisik, misalkan dengan perang atau melakukan bom bunuh diri. Padahal kata jahada berarti bersungguh-sungguh atau memaksimalkan semua potensi yang ada. Oleh sebab itu, karena manusia mempunyai potensi fisik, akal, emosi dan spiritual, maka segala yang dilakukan oleh fisik, akal, emosi dan spiritual manusia dengan sungguh-sungguh juga berarti jihad. Maka seseorang yang melakukan usaha sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa atau untuk mengenal (ma’rifat) kepada-Nya, maka ia telah melakukan jihad spiritual atau sering disebut dengan istilah mujahadah.

Saturday, September 19, 2009

Puasa dan Iedulfitri.

Puasa bagi kaum muslimin adalah ibadah wajib, merupakan bagian dari rukun Islam. Menurut ilmu fiqh. rukun adalah syarat yang kalau tidak dilakukan akan menjadi batal keislamannya. Demikianlah Allah telah mewajibkan kita berpuasa dibulan ramadhan seperti termaktub dalam al-Quran surat ke-dua yaitu al-Baqarah ayat 183 -184. Ayat ini dengan jelas dan tegas menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah wajib, bagi umat muslim yang baligh, sehat dan tidak sedang dalam perjalanan.

Ibadah puasa disamping sebagai rukun yang wajib dilakukan, terdapat beberapa manfaat yang terkandung dalamnya. Para ulama banyak yang mengaitkan puasa sebagai latihan mengendalikan diri dalam memanage nafsu dan keinginan yang sebetulnya dihalalkan. Beberapa diantara mereka juga mengaitkan puasa sebagai solidaritas dengan kaum papa dan du’afa dalam merasakan bagaimana penderitaan mereka tidak makan dan tidak minum.
Satu hal yang mungkin tidak banyak disadari dalam berpuasa adalah puasa sebagai pemicu untuk menyukuri nikmat dari Allah swt. Kita bayangkan setelah seharian tidak makan dan tidak minum dari fajar sampai magrib, dan kebahagiaan yang dinikmati pada saat berbuka. Kita berbuka hanya dengan segelas air sudah menghilangkan haus. Segelas air yang harganya sangat murah, malah kebanyakan kita mendapatkannya gratis dari alam. Saat itulah kita harus menyukuri nilai segelas air yang telah melepaskan dahaga kita seharian. Kemudian kita akan sadar bahwa demikian berharganya air, maka kita harus tetap menghargai walaupun tidak lagi sedang berpuasa.
Demikian juga halnya dengan hal lain, disamping menghargai air, puasa juga akan memberikan kita kesadaran untuk menghargai makanan. Untuk hal yang sudah kita peroleh dan sangat berharga yang kita nikmati itulah kita perlu bersyukur.
Demikianlah manfaat puasa, disamping menahan haus dan lapar, merasakan kehidupan kaum papa, juga seharusnya mendidik kita untuk bersyukur.

Setelah berpuasa sebulan penuh, maka puasa diakhiri dengan perayaan iedulfitri yang kita kenal secara populer sebagai lebaran. Iedulfitri adalah saat kita kembali ke fitrah setelah melalui bulan puasa sebagai bulan penggemblengan. Kembali ke fitrah adalah kembali pada kondisi seolah-olah kita baru dilahirkan kembali, seperti bayi yang tidak berdosa. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan yang sempurna sebagai hewan yang berpikir atau berakal dan menyadari dirinya sebagai makhluk yang harus mengabdi hanya kepada Khalik saja. Laqad khalaqna fi ahsani taqwim, sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S.65 at-Tin ayat 4). Fitrah adalah potensi asasi manusia. Gambaran kembali kefitrah ini menunjukkan bahwa Islam sangat mengutamakan harkat kemanusiaan, dimana hak asasi manusia harus dilindungi. Harkat kemanusiaan ini tercermin dengan mempererat silaturahim dalam merayakan Iedulfitri dengan cara antara lain dengan memberi dan meminta maaf kepada sesama dan saling berkunjung kepada handai taulan.

Marilah kita berdoa semoga puasa kita pada ramadhan tahun ini mendapat berkah Nya, dan membuat kita semakin bersyukur, yang disusul dengan mempererat silaturrahmi dalam menghargai harkat kemanusiaan.

Wallahu a’lam

Adli Usuluddin
18 September 2009/28 Ramadhan 1430

Sunday, September 13, 2009

Lebaran, oh.....lebaran.

Lebaran kembali kita jelang, sebagaimana dengan lebaran sebelumnya, hingar bingar mulai terasa. Warga urban mulai mempersiapkan diri untuk mudik, suatu ritual yang dilakukan setiap lebaran. Mudik hanya terjadi dikalangan urban yang merupakan migran dari desa kekota. Bagi yang tidak mudik akan sibuk dengan rencana memanfaatkan libur panjang disamping acara silaturrahmi keluarga.

Persiapan memasuki lebaran secara merata baik dikalangan migran atau bukan, adalah persiapan pesta lebaran yang istimewa, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pesta lebaran dilakukan setelah menahan diri sebulan penuh bagi yang berpuasa. Kita tidak akan membahas apakah perlu pesta atau bukan, tapi kenyataan membuktikan bahwa untuk mempersiapkan pesta lebaran akan memberi pengaruh yang signifikan pada roda perekonomian pasar.

Kenyataan yang terjadi adalah bahwa menjelang lebaran harga bahan pangan akan naik, bahkan untuk beberapa komoditi kenaikannya sampai berlipat. Memang harga naik akibat hukum permintaan dan penawaran, dimana saat menjelang lebaran permintaan naik sedangkan penawaran tidak dapat mengikuti kenaikan permintaan. Hal ini juga terjadi pada hari raya agama umumnya seperti menjelang natal. Sementara itu di Indonesia karena Islam agama dominan maka kenaikan harga pangan semakin terasa saat menjelang lebaran baik bgi yang merayakan maupun yang tidak.
Pemerintah Indonesia telah diamanatkan bahwa dalam kebutuhan pokok manusia terutama pangan dapat dikendalikan pemerintah. Pengendalian pangan dilakukan dengan antara lain dengan membentuk badan pengendali ketersediaan pangan yang bernama Badan Urusan Logistik atau disingkat Bulog. Tugas utama Bulog adalah mengendalikan agar penawaran (suplai) pangan tetap terjamin untuk menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran. Kalau keseimbangan antara permintaan dan penawaran berhasil, maka dapat dipastikan harga tidak akan naik secara menggila. Bukankah harga untuk komoditi yang berada dibawah kendali hanya bisa naik kalau ongkos produksi naik.

Pertanyaannya yang timbul adalah; dengan lebaran yang terjadi setiap tahun dan waktunya dapat diprediksi dengan tepat, apakah tidak ada langkah yang jitu yang dapat dilakukan untuk mengendalikan harga pangan, tidak hanya berupa operasi pasar sekedarnya yang berlangsung sesaat dan pada lokasi yang terbatas?

13 September 2009.

Saturday, September 05, 2009

Malaysia… oh…Malaysia.

Berita aktual minggu ini adalah isu tentang kekesalan terhadap Malaysia. Kekesalan bermula dari adanya iklan pariwisata Malaysia yang ditayangkan oleh studio televisi Discovery dengan sajian tari pendet. Iklan ini telah mengusik ketenangan setelah hiruk pikuk pemilu presiden yang disusul dengan isu teroris yang cukup menyita banyak perhatian media masa.

Media masa menyambut isu ini dengan gempita, karena mendapat bahan pemberitaan yang ekslusif sebagai kontinuitas gegap gempitanya isu yang menjadi sumber berita sebelumnya. Isu ini cenderung dipertahankan dengan kemasan yang menarik, terutama oleh media televisi.

Kembali kepada topik yang dibicarakan adalah tentang isu Malaysia. Perlu dilakukan kajian yang jernih tentang isu ini, baik berupa klaim budaya sampai dengan penghinaan. Diberitakan Malaysia mengklaim tari pendet sebagai tarian Malaysia dalam iklan Discovery tersebut. Sesungguhnya tidak ada klaim dari mereka atas tarian tersebut, hanya interpretasi kita saja yang mengatakan begitu. Kelihatan kita terlalu emosi menanggapi isu tari pendet, padahal sebenarnya masalah tidaklah substantif dalam skala hubungan antar negara. Apalagi Malaysia sudah memberi penjelasan dan minta maaf sesuai dengan tatakrama internasional.

Media televisi mengemas isu ini dengan menyajikan rangkaian fakta-fakta mulai tari pendet, tentang lirik Indonesia Raya yang dirubah, Ambalat, dan TKI kedalam suatu skenario. Secara sendiri-sendiri faktanya tidak dapat dibantah, namun akibat kemasan penyajiannya menjadikan seolah-olah dalam satu rangkaian yang terencana. Alangkah bodohnya pemerintah Malaysia melakukan itu secara terencana dalam suatu rangkaian karena dalam era globalisasi yang dibutuhkan adalah kerjasama bukan pertentangan.
Ada stasiun televisi dengan santer menyajikan isu ini secara masif, bahkan mengundang narasumber untuk diwawancarai. Tentu saja narasumber yang diundang adalah yang dapat mendukung skenario yang sudah disiapkan. Sajian ditambah dengan film yang menggambarkan kegiatan Bung Karno waktu konfrontasi dulu. Maksudnya mungkin untuk meningkatkan rating agar pemasukan iklan semakin besar. Tapi yang terjadi malahan rakyat menjadi terprovokasi. Isu konfrontasi dengan slogan ”ganyang Malaysia” kembali dikobarkan, yang sudah tentu akan membakar emosi masyarakat awam. Demikian pula halnya dengan lagu kebangsaan Malaysia ’Negaraku’ yang ditenggarai sebagai jiplakan lagu Terang Bulan. Padahal lagu seperti itu sudah ada sejak abad ke 18 diciptakan oleh orang Perancis. Kalaupun misalnya Negaraku adalah jiplakan dari Terang Bulan, bukankah logikanya kita patut berbangga, lagu yang disini dianggap biasa-biasa saja malahan dihormati jadi lagu kebangsaan Malaysia. Kita harus dapat memisahkan antara niat; kekeliruan; atau individu yang iseng dan nakal, janganlah sampai terpancing kedalam isu yang tidak substansial.

Televisi adalah media audivisual yang sangat effektif, gambar yang ditayangkan memuat sejuta kata yang tidak dapat dilakukan oleh media cetak maupun radio yang bahkan kadang-kadang gambar tidak memerlukan kata-kata sama sekali. Memang tidak perlu ajakan eksplisit, karena tanpa diajak eksplisit pun penonton sudah terpengaruh. Informsi memang perlu dicerna, tapi tidak semua orang cerdas sehingga dapat memilah. Pemirsa TV adalah dari segala golongan mulai dari yang cerdas dan berwawasan, sampai yang tidak mengerti dan berwawasan dangkal.

Sebagai contoh : televisi barat sangat pintar memanfaatkan kekuatan gambar, sering kita lihat kalau teroris beragama Islam tertangkap, diperlihatkan kegiatan kesehariannya shalat dan pergi kemasjid dengan gamblang walaupun tanpa narasi. Sebaliknya kalau teroris Belfast Irlandia yang notabene Katolik yang tertangkap, tidak pernah diperlihatkan kesehariannya ke gereja. Akibatnya dunia menuai stigmatisasi Islam seperti yang terjadi saat ini. Apakah televisi kita bermaksud sama dengan televisi barat untuk isu ini? Apakah sebenarnya ada kekesalan lain terhadap unjuk kerja pemerintah atau terhadap hasil pemilu, sehingga kekesalan ditumpahkan lewat isu lain?

Konfrontasi seperti yang pernah dialami akan menguras sumber daya yang besar sekali, sementara jalan yang lebih murah dan elegan masih tersedia. Akankah kita negara serumpun yang mempunyai akar budaya yang sama akan terseret kedalam pertentangan yang tidak perlu? Banyak contoh ketegangan yang terjadi antar beberapa negara dizaman modern ini --bahkan mereka tidak serumpun-- sebagian besar dapat diselesaikan dengan cara damai dan bermartabat. Itu yang terjadi misalnya waktu pesawat Korea Selatan yang ditembak jatuh oleh Soviet diatas pulau Sachalin beberapa dekade yang lalu, walaupun terjadi korban jiwa yang banyak, tetap dapat diselesaikan dengan elegan. Demikian juga halnya perselisiham kita dengan Malaysia masalah pulau Lingitan, walaupun terjadi suasana emosional sesaat, namun selesai dengan elegan dan terhormat. Jangan sampai terjadi kita perang dengan Malaysia gara-gara lagu dan tari, seperti perang antara Honduras dan El Salvador pada tahun 1969 gara-gara pertandingan sepakbola.

Kepada stasiun televisi sebaiknya tetap menyajikan fakta dalam rangkaian obyektif; dan mengundang narasumber yang seimbang, sehingga azas cover both sides tetap dipertahankan. Sebaiknya juga televisi melakukan sajian persuasif kearah perdamaian, bukan dengan sajian gelora nasionalisme yang dangkal, yang sekedar mengangkat rating, karena kita tidak ingin berada dalam suasana tegang ataupun perang. Janganlah membesar-besarkan isu yang tidak substansial menjadi isu yang provokatif, karena sikap inilah yang membuat kita dilecehkan.


31 Agustus 2009

Monday, August 17, 2009

Peringatan Hari Kemerdekaan.

Peringatan hari kemerdekaan kita dipuncaki dengan upacara militer penaikan bendera mengenang detik-detik proklamasi di Istana. Upacara sangat didominasi oleh gerakan-gerakan kaku dan seragam, tegas dan well trained sesuai tatakrama militer. Peserta upacara seluruhnya militer dan polisi, berbaris rapi dilapangan. Ada keterlibatan soswa SMA sebagai penggerek bendera, itupun sudah dilatih ibarat militer. Tamu yang diundang yang terdiri dari petinggi Negara, para teladan, korps diplomatik dan VIP lainnya, duduk dibawah tenda yang terlindung dari terik matahari. Sementara rakyat berada diluar garis menonton upacara ini. Tata upacara sejak beberapa puluh tahun terakhir berlangsung sama, standar yang tetap, kaku dan eksklusif sehingga mengesankan sangat membosankan.

Di Amerika Serikat perayaan hari kemerdekaan dilakukan sebagai pesta rakyat, parade, kembang api, atraksi flypass dan lain2. Acara puncak berupa parade, namun dihadiri oleh segala lapisan masyarakat dan diminta yang mau datang agar konfirmasi untuk memudahkan pengaturan. Parade nasional dilaksanakan melalui jalan tertentu di Washington DC.
Singapura juga diawali dengan parade yang diikuti oleh militer dan masyarakat, acara diselenggarakan secara semi militer, dilakukan ditempat yang luas yaitu di stadion nasional. Dilanjutkan kemudian dengan pagelaran attraksi yang melibatkan masyarakat.
Negara2 komunis dan bekas komunis, dan negara berkembang umumnya melakukan upacara militer penuh.

Kembali pada perayaan di Indonesia, gambaran upacara sangat tegas memperlihatkan bahwa negara adalah arena para penyelenggara kekuasaan, rakyat hanya sebagai penonton diluar garis, sama sekali tidak diajak berpartipasi. Kemudian memang ada acara-acara yang merakyat, yang pada umumnya diselenggarakan sendiri oleh rakyat berupa pesta-pesta tradisionil seperti panjat pinang, dan lomba-lomba lucu lainnya.

Alangkah harmonisnya jika penyelenggara negara melaksanakan upacara puncak lebih melibatkan masyarakat luas. Upacara bendera di Istana tidak hanya dihadiri militer sebagai peserta upacara, tapi juga ada wakil masyarakat awam yang dapat dipilih secara acak karena tempat yang terbatas. Prosedur pelaksanaan harus khidmat dan lugas, lebih santai dan merakyat dan tidak perlu terlalu militeristik,. Kemudian bagi masyarakat yang tidak dapat masuk lapangan upacara, disediakan panggung untuk dapat melihat dengan lebih baik. Alangkah indahnya upacara bendera yang disekitarnya ada militer berbaris rapi disatu sisi, dan rakyat yang berdiri melingkar dengan bebas disisi lain, menunjukkan bahwa upacara tidak menjadi total militeristik. Alternatif lain diselenggarakn distadion utama Senayan seperti dulu pernah dilakukan pada zaman Bung Karno dan yang juga dilakukan negara Singapura, Beberapa negara demokrasi melakukan acara yang lebih melibatkan masyarakat dengan arti luas. Acara kembang api, kampanye melihat musium, atraksi udara, konser dan karnaval adalah lebih merakyat.

Diharapkan konsep peringatan puncak hari kemerdekaan yang melibatkan masyarakat, dapat dipikirkan untuk dilakukan dimasa mendatang. Upacara yang lebih bersifat ”kenduri” lebih dekat dengan rakyat, sebagaimana pesta panen sebagai upacara yang mentradisi.

Jakarta 17 Agustus 2009

Friday, August 14, 2009

Khutbah

Saya shalat Jumat di sebuah mesjid besar dan terkenal di Kebayoran Baru tanggal 14 Agustus 2009. Khutbah yang disampaikan oleh salah seorang petinggi negara sangat menyejukkan. Khatib membahas tentang kemerdekaan dan Islam. Islam tidak mengajarkan kekerasan, tidak mengajarkan teror dan semacamnya. Islam adalah agama damai yang memberi Rahmat bagi seluruh alam. Kita harus hindari stigmasasi bahwa teror adalah identik dengan Islam.

Kemudian kaitan khutbah dengan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, adalah suatu rahmat, apalagi proklamasi dilakukan pada tanggal 9 Ramadhan yang merupakan bulan suci umat Islam. Ini bukan sekadar kebetulan, tapi mempunyai hubungan dengan ummat Islam Indonesia yang mayoritas dan negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia. Suatu kemerdekaan tidaklah sekadar kemerdekaan fisik, tapi kemerdekaan segala bidang, baik fisik maupun sosial, budaya, ekonomi, politik, nurani dan etika. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang tidak boleh menghamba kepada apapun selain kepada Allah swt. Kemerdekaan seperti ini masih belum tercapai oleh rakyat Indonesia.

Suatu keseleo lidah yang sangat mengganggu adalah bahwa khatib juga menyampaikan bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 memiliki Undang-Undang Dasar 1945 dengan preambule (mukaddimah) yang sepenuhnya seperti Piagam Jakarta. Barulah sehari kemudian tanggal 18 Agustus 1945 UUD 1945 dirubah dengan menghilangkan kata-kata: ”menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Padahal sesungguhnya pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki Undang-undang Dasar. Jadi tidak pernah Piagam Jakarta menjadi preambule UUD 1945, karena UUD 1945 baru disahkan 18 Agustus 1945 dengan preambule yang telah direvisi dengan menghilangkan 7 kata dari Piagam Jakarta. Mudah-mudahan tidak ada yang salah mengerti dengan keseleo khatib tersebut.

Tuesday, July 07, 2009

DPT dan KTP

Syukurlah pada tanggal 6 Juli 2009, MK menjalankan fungsinya untuk menilai undang-undang Pemilu sehingga KTP dapat dipakai sebagai identitas pemilih pada pemilihan presiden 2009 yang akan berlangsung 2 hari lagi. Hal ini menyelesaikan silang sengkarut DPT yang dinilai tidak akurat. Sebetulnya dari mana kericuhan DPT ini bermula, mungkin dapat kita runut dari awal, agar dapat melihat masalah dengan jernih dan adil.

Ada dua hal yang sangat menonjol yang disorot yaitu personil KPU dan aturan yang dibuat KPU. Personil KPU dinilai tidak professional oleh sebagian kalangan, sehingga kerja keras KPU dianggap gagal.
Sedangkan aturan-aturan yang dibuat KPU dituduh mengebiri hak politik warganegara untuk memilih, karena kekisruhan DPT tersebut. Aturan KPU sebenarnya sudah dibuat berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan sebagai payung hukum. Undang-undang Pemilu mengamanatkan kepada KPU untuk mendaftar pemilih dengan stelsel pasif, yang artinya KPU membuat daftar pemilih dari data kependudukan yang ada yang disebut sebagai Daftar Pemilih Sementara (DPS), kemudian warganegara yang memiliki hak memilih harus melihat sendiri apakah dirinya sudah terdaftar dan dapat mengajukan keberatan. Daftar ini yang kemudian menghasilkan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ini berbeda dengan pemilu 2004 dengan stelsel aktif, dimana KPU mendaftarkan semua pemilih dengan mendata semua penduduk yang punya hak pilih kesetiap rumah tangga. Stelsel pasif ini sesuai dengan semangat undang-undang dasar Republik Indonesia bahwa memilih itu adalah hak, bukan kewajiban. Tapi kelihatannya kita belum siap dengan stelsel pasif ini, atau mungkin warga negara belum biasa dengan berperan aktif, akibat selama bertahun-tahun kita selalu didikte harus mengerjakan apa. Baru sepuluh tahun ini kebebasan dikenalkan sehingga kita perlu belajar berada didalam kebebasan sejak dari awal. Malahan kita juga harus belajar berdemokrasi sejak dari awal pula.
Dalam perjalanan prose pemilu terjadi kericuhan dalam DPT, yang kemudian dengan sangat piawai diangkat sebagai issue politik. Sindiran-sindiran dikeluarkan karena tidak dapat salah satu pihak menuduh pihak lain tentang kecurigaan bahwa kekisruhan DPT ini adalah disengaja untuk kepentingan tertentu.

Sadarkah kita bahwa dalam pembentukan KPU dan pembuatan undang-undang Pemilu sangat ditentukan oleh keputusan yang dibahas secara intensif oleh DPR, dan bahwa keputusan tersebut dibuat secara demokratis? Kenyataan bahwa pihak yang protes atas professionalisme dan aturan KPU tersebut berasal dari PDIP sebagai pendukung utama calon presiden Megawati; dan Golkar sebagai pendukung utama calon presiden Jusuf Kalla. Kedua kubu calon presiden tersebut adalah fraksi yang mendominasi DPR pada saat diputuskan. Sementara kubu calon presiden Susilo Bambang Yudoyono yang juga presiden incumbent ditenggarai sebagai yang paling bertanggung jawab, pada hal KPU dibuat sebagai lembaga independen.Sebagai pemerintah incumbent JK seharusnya dapat menekan sejak awal proses pemilu, sehingga tidak membuang biaya sekian besar untuk urusan daftar pemilih.

Akhirnya MK menjalankan fungsinya dalam menyelesaikan masalah DPT ini dengan baik sekali.
JK-Win dan Mega-Pro membantu KPU dengan sejumlah komputer untuk membantu KPU dalam menyelesakan masalah DPT ini. Suatu usaha yang baik dan kelihatan sangat perduli dengan hak warganegara. Semoga kepedulian tersebut akan berlanjut kalau terpilih jadi presiden nanti.

Saya salut atas usaha JK dan Mega dalam kegigihan menyuarakan masalah DPT ini. Namun ada yang kurang pas dengan adanya ’tendangan pamungkas’ setelah pergulatan selesai; keputusan tentang KTP ini diaku sebagai hasil kerja keras JK-Win dan Mega-Pro, sementara SBY disindir tidak punya andil sama sekali. Sungguh rasa hormat dan kagum saya atas usaha tersebut agak berkurang dengan sikap meng-claim seperti ini.

Friday, May 29, 2009

CINTA

Agama mengajarkan bahwa mencintai apapun jangan lah melebihi cinta pada Tuhan. Saat ingin mencintai Tuhan kita mulai kebingungan, bagaimana caranya kita menyalurkan cinta itu, karena Tuhan tidak dapat dijadikan obyek sementara cinta memerlukan subyek dan obyek. Kemudian muncullah berjuta adagium cinta, yang dapat dipahami yang berkaitan dengan subyek-obyek ini. Ada cinta asmara, persahabatan, tanah air, harta, kedudukan, pangkat dan sebagainya. Adagium ini semuanya memberikan subyek dan obyek yang dapat ditangkap dan terdefinisi.
Kemudian, kita mulai terjerat kedalam cinta-cinta diatas, dan mulai larut didalamnya. Cinta mulai bergerak kearah kepemilikan, menjadi posessif dan melekat pada obyek yang dicintai.

Sebetulnya obyek yang dicintai itu adalah sekedar ”substitusi” dari Pencipta obyek (saya tulis substitusi dalam tanda kutip, karena saya tidak menemukan kata yang tepat, karena Pencipta tidak bisa disubstitusi) kesemuanya hanya ”saluran” cinta pada Tuhan. Dengan demikian mencintai apapun didunia ini sebagai ciptaan Tuhan, sejatinya adalah mencintai Tuhan. Apapun alasan untuk mencintai sesuatu semuanya pasti menuju Dia.

Suatu hal yang perlu disadari terus menerus adalah bahwa obyek cinta adalah saluran dalam rangka mencintai Tuhan. Kita tidak boleh melekat (attached) dengan obyek tesebut, harus disadari bahwa semuanya hanyalah obyek penyaluran cinta.
Cintailah dunia ciptaan Tuhan, tapi jangan melekat padanya.

I love you all.

Thursday, April 09, 2009

Quick Count

Quick count adalah applikasi ilmu statistic untuk mengestimasi hasil pemilu dengan akurasi tinggi. Akurasi tinggi yang dimaksud masih memberikan kondisi kesalahan sampai satu prosen. Tentu saja hasil resmi Pemilu tidak ada hubungannya dengan quick count, karena lembaga survey yang melakukan quick count tidak punya wewenang untuk menetapkan hasil pemilu. Ketentuan pemilu menyatakan bahwa hasil resmi adalah hasil tabulasi yang dikeluarkan oleh KPU, dan ini tidak ada hubungannya dengan quick count.

Suryadharma Ali, Ketua Partai Persatuan Pembangunan dalam acara talkshow TV One jam 20.00 tanggal 9 April 2009, memberikan komentar atas quick count pemilu legislatif yang ditayangkan oleh beberapa media di Jakarta. Beliau mempertanyakan bagaimana quick count dapat dipertanggung jawabkan dan hasil quick count hanya untuk menggiring opini atas hasil pemilu. Pertanyaan ini kelihatan tidak relevan, karena toh hasil pemilu belum ditetapkan oleh KPU, dan KPU tidak akan memakai hasil quick count sebagai keputusan hasil itu. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan dengan quick count sebenarnya, juga tidak akan mempengaruhi pemilih karena diumumkan setelah TPS ditutup.

Kita harus menempatkan quick count sebagai pedoman untuk melihat kecenderungan saja, bukannya menganggap sebagai hasil yang perlu dibahas.