Sunday, August 21, 2011

Lailatul Qadr

Topik pembicaraan umat islam pada sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah lailatul qadr atau malam kemuliaan. Pengajian di masjid-masjid sering membahas suatu malam yang hening, tanpa bintang, tanpa angin, …dan seterusnya. Gambaran malam yang fisikal yang berbeda dengan malam-malam yang lain disebutkan sebagai tanda yang menjadikan lailatul qadr istimewa, dengan tambahan gambaran dari Al-Quran bahwa pada malam itu malaikat turun. Konstruksi pemikiran demikian terpupuk sejak kecil sampai masa dewasa dan tua. Tidak dapat disalahkan sebagian besar umat islam membayangkan lailatul qadr sesuai dengan pengertian yang dibangun demikian.

Saya berpendapat lain dalam mempersepsikan lailatul qadr. Kalau kita kutip dari al-Quran 97 ayat 2 – 5 : “Dan tahukah kamu apakah lailatul qadr (malam kemuliaan) itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam itu diturunkan para malaikat dan ruh (jibril) dengan izin Tuhannya. Sejahteralah, sampai terbit fajar.” Ayat-ayat tersebut sama sekali tidak memberikan gambaran fisik lailatul qadr selain lebih baik daripada seribu bulan, bahkan kapan lailatul qadr itupun tidak disebutkan. Jadi kenapa kita harus berusaha mencari tanda-tanda fisik malam itu?

Menurut hemat saya lailatul qadr seyogyanya dimaknai secara spiritual bukan ditandai oleh 'keanehan' fisikal malam. Sejahteralah sampai terbit fajar, adalah petunjuk dan gambaran spiritual bagi yang mengalaminya. Sejahtera adalah keadaan dimana kesadaran penuh akan ke-Esa-an Allah Sang Pencipta. Sejahtera memerlukan persiapan atau pra-kondisi, sejauh mana kita mengingat Allah (dzikrullah),sejauh mana derajat kebaikan kita, derajat kesadaran beramal dan beribadah, dan kebaikan-kebaikan lainnya, yang nilainya disebutkan lebih baik dari seribu bulan. Pada saat kesiapan-kesiapan ini lengkap, lailatul qadr yang akan mendatangi kita. Kita akan masuk dalam kesadaran illahiyah, ibarat gelombang yang sadar bahwa dirinya lautan.

Wallahu a’lam.

21 Agustus 2011/21 Ramadhan 1432

Wednesday, August 17, 2011

Non-Islam Tidak akan Masuk Sorga.

Seorang penanya pada sebuah kolom online bertanya kepada ustadz pengasuh rubrik tanya jawab sebagai berikut: “Saya pernah mendengar bahwa orang yang tidak beragama Islam (non-Islam) yang selalu berbuat baik dalam hidupnya tetap tidak masuk sorga. Apakah itu benar?” Ustadz, yang berlatar belakang keilmuan dengan gelar akademis tinggi, menjawab dengan penjelasan tentang orang Islam dan aqidah. Beliau mengatakan bahwa non- Islam tidak mempunyai aqidah atau ikatan dengan Allah, mereka adalah orang tidak beriman. Jawaban ini dilengkapi dengan ayat Al-Quran surat Annur (24) ayat 39, bahwa: ”…..“Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana……”……” Kesimpulannya dari penjelasan sang ustadz adalah: “Mereka tidak dapat masuk sorga, mereka tidak akan memperoleh keridhaan untuk menikmati sorganya Allah.”

Saya tidak setuju dengan pendapat ini, karena menurut saya arti dari ayat 24:39 “Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah rata, yang disangka air bagi orang kehausan, hingga ketika mereka mendekati dan tidak satupun....” Maksudnya lebih tepat apabila kita mendekat dan kita tidak/belum menemui Allah di sisi kita, maka artinya kita masih terhijab/mengingkari (kafir). Dan kebanyakkan orang masih diposisi ini apakah mereka Islam ataupun non Islam.

Kita lihat ada 3 subyek yang menjadi pokok bahasan diatas, yaitu : orang tidak beriman, orang kafir dan non-Islam. Sekilas memang jawaban yang diberikan ustadz diatas adalah jawaban yang dapat diterima secara umum. Konstruksi pemikiran yang dibangun adalah: non-Islam, orang tidak beriman, orang kafir adalah sama. Konstruksi pemikiran yang dianut ini sudah sangat solid dikalangan mainstream Islam.

Saya punya pendapat lain tentang ini. Pertama-tama saya ingin membedakan Islam (I-capital) dan islam (i-kecil). Islam dengan I-capital adalah nama sebuah agama yang dibentuk menjadi sebuah institusi dengan syarat dan aturan yang mengikat penganutnya; sementara itu islam dengan i-kecil adalah suatu ketundukan kepada Allah. Islam (i-kecil), sesuai dengan makna kata sin-lam-mim yaitu selamat, berserah diri, damai, kepatuhan atau ketundukkan. Jadi orang disebut ber-islam ketika dia telah berserah diri secara total kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya, dan yang lebih penting orang tersebut juga memberikan rasa damai dan keselamatan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. (lihat juga al-Quran 2 : 112). Untuk membedakan pengikutnya, saya menyebut pengikut yang beragama Islam (dg I-capital) sebagai muslim (dg m-kecil); dan pengikut islam (i-kecil) sebagai Muslim (dg M-capital). Saya juga ingin menambahkan bahwa ayat al-Quran 3 : 19: “inna diina ‘indallahi alislam” semestinya diterjemahkan dengan “sesungguhnya ketundukan disisi Allah adalah keberserahan diri”.

Selanjutnya orang beriman, dalam al-Quran beberapa kali disebut sebagi orang yang percaya kepada Pencipta, pada yang gaib dan pada hari akhir. Iman berasal dari kata alif-mim-nun yang berarti merasa aman dan tentram atau secure bersama dengan Allah. Sesungguhnya orang yang belum merasa aman belumlah dapat disebut sebagai orang beriman. Orang beriman bukan hanya orang Islam (muslim), bahkan ahli kitab yang bukan Islam sekalipun dapat disebut sebagai orang beriman seperti yang disebut al-Quran 3 : 114 dan 3 : 199. Terlihat disini bahwa klaim orang beriman bukanlah milik orang Islam semata.

Kemudian orang kafir, adalah orang yang mengingkari Pencipta sesuai dengan arti kata kaf-fa-ra yaitu ingkar. Orang kafir adalah tidak beriman, karena keingkarannya tersebut. Keingkaran seseorang dilihat dari sikapnya yang antara lain adalah tidak menghormati Pencipta yang akan terlihat dalam sikapnya yang tidak menghormati ciptaan-Nya. Dengan pengertian ini maka kekafiran akan ada pada penganut Islam maupun non-Islam.

Kalau merujuk kedalam al-Quran, yang menentukan adalah amal yang dilakukan seseorang. Mereka yang mengimani Pencipta, melaksanakan kepedulian sosial seperti zakat dan sedekah akan diberi ganjaran yang sesuai sehingga tidak perlu merasa takut akan hari kemudian, seperti juga termuat antara lain dalam al-Quran 2 : 277. Janji Allah untuk tidak perlu takut itu tidak sejalan dengan jawaban ustadz diatas bahwa non-Islam tidak dapat masuk sorga.

Diluar dari pendapat yang diatas, kita juga dapat mendekati masalah ini dengan sangat sederhana. Kalau ustadz tersebut menyebutkan bahwa non-Islam tidak akan masuk sorga, maka ada kejanggalan logika. Coba dipikir sebanyak 6 miliar manusia di planet ini, hanya 1,5 miliar penganut Islam yang akan masuk surga, sisanya diciptakan untuk “disiksa” di neraka, dimanakah logika Keadilan sang Pencipta Yang Maha Adil?

Komentar akhir dari saya berkenaan dengan sorga: “Apakah sorga dan neraka itu penting sekali…..? Apapun yang Dia berikan kepada kita, bukankah tunduk dan cinta pada-Nya jauh lebih penting?”

Teringat puisi seorang sufi Rabi’ah al-Adawiyah:

Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka...
bukan pula karena mengharap masuk surga ...
Tetapi aku mengabdi, karena cintaku pada-Nya

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu,
demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan
memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
.

Adli Usuluddin
17 Agustus 2011.

Saturday, August 13, 2011

Puasa Ibadah Rahasia.

Ibadah puasa yang telah diwajibkan kepada umat beriman adalah ibadah istimewa. Seperti yang disampaikan dalam sebuah hadist qudsi: “puasa itu untuk Allah dan Allah yang akan membalasnya.” Dengan demikian puasa adalah tuntutan ibadah yang sangat personal dan rahasia antara Allah dan manusia. Puasa dengan kesadaran sufistik adalah tempat atau sarana berasyiq-masyuq manusia dan Allah. Kesadaran penuh akan ke-Maha Esa-an Allah, tiada yang selain Dia, kesadaran yang demikian merupakan esensi dari tauhid.

Kerahasiaan ibadah puasa perlu dicermati oleh orang-orang beriman yang berpuasa. Berbeda dengan ibadah lain yang memerintahkan untuk melakukan sesuatu, ibadah puasa adalah ibadah yang perintahnya melarang melakukan sesuatu. Puasa adalah perintah larangan makan dan minum, larangan melakukan sesuatu yang mebatalkan puasa seperti mengumbar nafsu-nafsu amarah, sex dan lain-lain. Ibadah puasa yang kita laksanakan, hanya diketahui oleh kita dan Allah. Mengingat kerahasiaan dari puasa, jangan sampai ibadah ini menjadi berkurang nilainya atau malah menjadi batal akibat kecerobohan dalam pelaksanaan. Untuk itu beberapa kebiasaan dalam memasuki bulan ramadhan sepertinya perlu dicermati dan dievaluasi.

Kalau diamati menjelang dan selama Ramadhan, kebanyakan kita berbelanja makanan lebih banyak, melebihi kebiasaan yang dikonsumsi sehari-hari. Padahal kebutuhan nutrisi kita dalam 24 jam relatif tetap, karena kita berpuasa makan dan minum hanya pada siang hari. Jadi wajarnya tidak ada kebutuhan makanan yang melebihi kebutuhan seperti yang biasa kita konsumsi sehari-hari. Kita hanya membutuhkan penyesuaian waktu makan atau pemasukan nutrisi yang tadinya pada siang hari menjadi malam. Sikap konsumtif ini perlu dihindari semaksimal mungkin, karena sikap ini juga akan berdampak pada sistim perekonomian. Jika semua umat Islam yang berpuasa tetap menjaga konsumsinya selama Ramadhan, maka permintaan kebutuhan pangan tidak akan mengalami lonjakan sehingga stabilitas harga dapat dipertahankan.

Menjelang masuk bulan Ramadhan biasanya terjadi hiruk pikuk persiapan puasa. Ada kelompok yang mengkampanyekan untuk menghormati bulan puasa. Kampanye menghormati bulan puasa jauh lebih banyak dari pada anjuran untuk berpuasa dengan benar. Padahal orang-orang berimanlah yang diperintahkan berpuasa, dan tidak ada perintah apapun bagi orang-orang yang tidak beriman. Jadi seperangkat aturan tambahan selama bulan puasa yang disodorkan kepada yang tidak berpuasa tidaklah pada tempatnya, cukuplah aturan sosial yang ada untuk mengatur hubungan ini. Tidak perlu juga dalam bulan Ramadhan harus merazia warung makan, bukankah orang berpuasa sudah pasti tidak akan masuk warung makan di siang hari? Orang berimanlah yang seharusnya berkonsentrasi dengan puasa, menahan godaan adalah merupakan bagian dari esensi puasa. Jadi akan jauh lebih baik menganjurkan orang beriman untuk menahan godaan selama menjalankan ibadah puasa, dari pada mengurus orang-orang yang tidak puasa. Bukankah lebih mudah dan efektif mengatur kedalam diri sendiri dari pada mengatur orang lain.

Melaksanakan ibadah sunnah seperti shalat tarawih, tadarus dan lain-lain, sangat dianjurkan dan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari puasa Ramadhan. Pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah ini harus dilakukan dalam porsi ketaqwaan yang dalam, bukan dengan euforia berlebihan. Jangan sampai dalam beribadah sunnah ini kembangnya lebih menonjol daripada khusyuknya. Jangan sampai ibadah terjerumus kedalam riya karena ingin menunjukkan bahwa kita melakukannya. Jangan sampai kita terhijab oleh ibadah kita. Perlu diingat bahwa Allah juga menguji kita dalam ibadah.

Hiruk pikuk Ramadhan terasa jauh sampai ke acara hiburan, terlebih media televisi dengan program serial keagamaan dan hiburan yang bernuansa puasa. Acara-acara ini seyogyanya dapat diisi dengan lebih berbobot, mengingat waktu persiapan yang cukup panjang sebelum puasa. Dengan demikian manfaat media televisi yang sangat ampuh ini dapat memberikan dampak positif selama bulan puasa.

Ramadhan seyogyanya dijadikan sebagai bulan kontemplasi yang dikondisikan oleh suasana puasa, yaitu dengan menahan dan mengendalikan keinginan dan perbuatan tertentu di siang hari. Dalam kondisi ini manusia lebih menyadari kerapuhan diri dan kerapuhan egonya, manusia akan menyadari ke-Agungan Allah, bahwa hanya Allah yang Maha Ada. Kontemplasi dan kesadaran diri ini yang dapat menghantarkan manusia menjumpai lailatul qadr.

“Salaamun hiya hatta mathla’il fajri”- sejahteralah ia sehingga terbit fajar (Al-Quran surah Al-Qadr (97) ayat 5). Lailatul qadr, adalah memasuki kesadaran ilahi, semua menjadi jelas dan merasakan nikmat, seperti kegelapan malam menjadi terang oleh fajar, menyadari yang ada hanyalah Dia Al-Haqq. Lailatul qadr, adalah kondisi dan situasi dimana manusia masuk ke dalam kesadaran tinggi akan ke-Esa-an Allah, manusia yang merasakan akan kesadaran bahwa tiada yang lain kecuali Allah. Kesadaran semuanya adalah Esa.

Puasa, kontemplasi, lailatul qadr adalah sebagian dari hubungan-hubungan rahasia Allah dan manusia.



4 Agustus 2011