Saturday, November 23, 2013

MURTAD.



Khutbah hari ini ditempat saya shalat jum’at disampaikan oleh seorang khatib senior dengan sangat piawai. Khutbah dengan topik fenomena pemurtadan disampaikan dengan gaya sangat persuasif menggiring alur pikir pendengar dan menghipnotis jamaah sehingga tidak ada yang tertidur. Topik khutbah sebenarnya biasa saja dan tidak ada yang aneh, namun penjelasan detailnya tidak dapat diterima sepenuhnya, bahkan membahayakan karena dapat mengundang gesekan sosial. 

Menurut khatib, siapapun orang islam yang  sedikit saja mengikuti orang kafir sudah termasuk orang yang murtad. (Yang dimaksud kafir disini adalah orang non Islam, walaupun untuk istilah kafir ini masih perlu perdebatan lagi). Ayat Al-Quran yang dikutip yang intinya adalah siapapun yang mengikuti sedikit saja kelakuan orang kafir akan menjadi murtad (saya lupa ayat yang beliau kutip). Rasanya tidak dapat kita terima terjemahan khatib bahwa hanya sekedar merayakan ulang tahun dengan kue dan lilin sudah membuat seorang muslim jadi murtad. Menurut saya ayat itu lebih bicara pada aqidah  dan keyakinan yang prinsipil, bukan masalah tetek bengek seperti ulang tahun.

Perlu disadari bahwa kita manusia adalah makhluk sosial yang bermasyarakat, tidak bisa hidup sendiri atau hanya dalam kelompok yang terisolasi. Hidup bermasyarakat, tidak hanya lingkungan seagama, tapi jauh lebih luas. Kita hidup dengan orang-orang dari berbagai macam agama dan kepercayaan serta berbagai bangsa.  Dalam kehidupan demikian tidak dapat dihindari terjadinya pertukaran budaya, saling pengaruh akibat dari interaksi sosial. Apalagi kehidupan modern saat ini dengan sistim komunikasi yang sangat maju. Disadari atau tidak ini adalah sunatullah, yang menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling menjalin hubungan baik. Ummat Islam diberi pegangan untuk menjaga diri agar tetap dalam koridor Islam, yaitu petunjuk syari’at dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Meskipun penafsiran syariat dari Al-Quran dan Sunnah juga sangat beragam, tapi kita punya satu ikatan rukun Islam dan Iman dalam satu konsep tauhid.  Sangat mungkin dan memang kenyataan bahwa koridor Islam juga saling berhimpitan dengan koridor keyakinan lain, apalagi keyakinan dari apa yang dikenal dengan agama langit. Koridor yang berhimpit ini tidak dapat hanya diklaim sebagai Islam dan tidak boleh juga ditolak sebagai bukan islam. Koridor yang berhimpit ini boleh jadi apa yang dilansir Allah dalam al-Quran adalah termasuk kalimatussawa.

Kemudian khatib juga mengatakan bahwa pemurtadan itu dilakukan oleh kaum kafir (terutama Yahudi dan Nasrani) terhadap Islam. Lagi-lagi khatib mengutip ayat yang isinya tentang ketidak relaan kaum Yahudi dan Nasrani kalau kita belum ikut mereka. Padahal ayat tersebut sangat kontekstual pada zaman Nabi, saat kaum muslim berperang dengan Yahudi dan Nasrani dulu. Era sekarang saya kira terlalu berlebihan kalau kita menganggap Yahudi dan Nasrani adalah agama yang bermaksud menyerang Islam. Terlalu jauh pikiran yang dilontarkan khatib bahwa mereka (Yahudi dan Nasrani) memerangi Islam, apalagi dia menambahkan bahwa tidak hanya perang dalam artian klasik dengan senjata dan pertumpahan darah, tapi juga perang dengan menyusupkan ideologi, konsep pemikiran dan sytem perangkat hidup. Ketakutan bahwa Islam akan menjadi rendah sepertinya adalah ketakutan yang berlebihan. Ketakutan ini yang akan menimbulkan pikiran bahwa Islam diperangi, padahal mungkin sebenarnya kualitas keberagamaan kita yang kurang percaya diri. Kalau pun toh ada perang, semuanya adalah akibat perebutan kekuasaan dan pengaruh, dengan memakai agama sebagai alat yang ampuh melibatkan ummat. Bukan ajaran agama yang ingin saling mengalahkan, tapi penganutnya yang kebablasan. Cara penyampain khatib tersebut termasuk kebablasan, sangat rentan dan memicu sentimen umat untuk saling berperang.

Kita tidak bisa hidup dengan membentengi diri, steril dari pengaruh luar, kita makhluk sosial dan harus hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Kita juga tidak bisa memaksakan aturan Islam yang harus diberlakukan dalam keberagaman Indonesia. Kita harus mencari kesamaan bukan perbedaan sehinga dapat berlomba-lomba menuju kebaikan. Semoga.
Adli Usuluddin
Jum’at 22 November 2013