Saturday, March 10, 2012

Merealisasikan yang Ideal

Oleh: Adli Usuluddin.


Keinginan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi , Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mensyaratkan calon lulusan untuk memuat karya ilmiah dalm jurnal; calon lulusan S-1 minimal pada jurnal ilmiah kampus atau online, calon lulusan S-2 pada jurnal ilmiah nasional, dan calon lulusan S-3 pada jurnal ilmiah internasional. Keinginan ini adalah suatu kondisi ideal untuk meningkatkan mutu lulusan. Keinginan Dirjen Dikti ini menimbulkan kotroversi dan menjadi perhatian serius pihak terkait, termasuk pengamat pendidikan. Beberapa Universitas terkemuka dan pengamat pendidikan mengemukakan pendapat dan tanggapan mereka. Frans Magnis Suseno (Kompas 8 Februari 2012) dengan humor filosofis menganjurkan Dirjen Pendidikan Tinggi membuat perwakilan jurnal ilmiah di Timor Leste, agar persyaratan Dikti dapat terpenuhi dengan cepat. Tentu saja ini adalah humor yang sangat lucu sekaligus getir. Frans Magnis juga menghitung kebutuhan jurnal dan ahli yang akan menilai karya ilmiah yang diperlukan, dan kelihatannya infra struktur jurnal dan perangkatnya masih belum memadai.

Idealnya keinginan Dirjen Dikti harus didukung. Dirjen Dikti sesuai dengan fungsinya amat perduli dengan mutu lulusan perguruan tinggi Indonesia, agar para lulusan tidak hanya menjadi pemburu ijazah, tapi memiliki kontribusi dan keperdulian yang tinggi pada ilmu pengetahuan, jujur dan berintegritas. Sayang keinginan yang baik ini mendapat reaksi negatif yang signifikan dari yang berkepentingan. Penyebabnya dapat dibaca di media masa seperti ditulis di atas, umumnya menunjukkan ketidak siapan infrastruktur kita untuk menyelenggarakan keinginan tersebut. Terlihat bahwa keinginan ideal tidak diimplementasikan dengan bijak ditingkat operasional.

Untuk dapat memenuhi keinginan Dirjen Dikti ini maka infra struktur jurnal yang sangat tidak memadai perlu dibangun. Kalau dilihat potret pendidikan secara keseluruhan, tindakan ini saja tidak cukup. Perlu mencermati beberapa hal pada dunia pendidikan kita. Bagaiman sikap mahasiswa dalam mencari ilmu. Apakah mereka sudah dibekali secara sistimatis dari pendidikan dasar untuk menyerap ilmu, atau hanya mengejar ijazah? Apalagi masih banyak mahasiswa yang ‘terdampar’ pada salah satu bidang studi diperguruan tinggi. Disinyalir, mereka terdampar, sebagai akibat sistim rekrutmen mahasiswa yang amburadul, atau akibat kurangnya informasi. Mahasiswa terdampar ini semakin banyak dikalangan marginal yang kurang mampu, karena tidak ada pilihan lain bagi mereka. Mungkin sebuah survey yang teliti diperlukan untuk melihat potret yang disinyalir di atas.

Kalau misalnya sinyalemen di atas benar, sedikitnya diduga kuat demikian adanya, perlu dilakukan antisipasi yang komprehensif oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak cukup dengan kebijakan Dirjen Dikti yang terkesan memotong permasalahan ditingkat perguruan tinggi, dan terkesan sebagai solusi instan. Usaha perbaikan diperguruan tinggi perlu didukung yang kuat dari jenjang pendidikan dibawahnya. Metoda belajar dan mengajar yang lebih menggali kemampuan anak didik dijenjang pendidikan dasar perlu diperkuat. Untuk itu konsep pendidikan yang lebih memanusiakan dengan silabus dengan orientasi tepat menjadi pekerjaan rumah para pemangku kepentingan pendidikan.

Sebagai contoh, anak didik jangan disuapi dengan data saja, tapi perlu dipupuk kemampuan analisis dan operasionalnya. Perlu memperlakukan otak anak didik bukan sekedar harddisk penyimpan data, tapi lebih dari itu otak mereka adalah processor. Tidak ada gunanya anak didik hafal segala macam data kalau dia tidak mampu memanfaatkan data yang dimilikinya. Data dapat diperoleh dan sisimpan pada media lain diluar otak, sementara Kemampuan analisis dan operasional dalam processor anak didik perlu dilatih sejak dini. Orientasi metoda pengajaran pendidikan dasar perlu diubah dengan mementingkan kemampuan analisis dan operasional ini. Data yang disimpan dalam otak cukup seperlunya saja, selebihnya dapat disimpan pada media lain yang saat ini sangat mudah diakses, seperti buku-buku/perpustakaan, internet, dan lainnya. Contoh ekstrim: untuk apa seorang anak SD hafal nama presiden-presiden dunia saat ini, yang beberapa tahun yang akan datang secara alami mereka pasti akan diganti.

Pendidikan dari jenjang paling bawah sampai perguruan tinggi dengan orientasi kemampuan analisis dan operasional akan menjadikan anak didik dapat memberikan kontribusi ilmiah dan perduli pada ilmu pengetahuan. Orientasi analisis ini akan mengurangi budaya nyontek yang berbasis data, sedangkan analisis berbasis kemampuan dan kemampuan menuntut kejujuran. Diharapkan mahasiswa calon sarjana akan otomatis memikirkan karya ilmiah, tanpa harus dipaksa oleh aturan.

Setelah menjadi sarjana, mereka akan tetap jujur, memiliki integritas, dan tidak perlu diperingatkan pihak lain bahwa seorang sarjana harus berkata jujur. Semoga keinginan ideal ini dapat terwujud, bukan hanya sekedar bahan perbincangan belaka.--(maret2012)