Tuesday, November 07, 2006

Dua Idul Fitri

Tulisan TH, Koran Tempo Minggu 29 Oktober 2006 sangat menyentuh sekali. Beliau merindukan kebersamaan ummat yang hangat dalam merayakan Idul Fitri, tanpa gunjing dan fitnah yang dapat membuat suasana fitri menjadi cacat. Sudah tidak dapat dibantah bahwa suasana yang demikian juga yang menjadi dambaan ummat Islam dalam merayakan Idul Fitri.

Suasana yang diharapkan itu dirasakan tidak tercapai, setidaknya di komplek tempat TH tinggal. Ini sebagai akibat dari perbedaan jadwal pelaksanaan shalat Idul Fitri yang berbeda pada tahun 2006 CE atau 1427 H ini. Ada golongan ummat yang ber idul fitri hari Senin 23 Oktober 2006, dan ada keputusan pemerintah yang menetapkan Selasa 24 Oktober 2006.

Sebetulnya masalah idul fitri akan lebih sederhana kalau kalender rujukan adalah kalender lunar Hijri. Apabila sistim kalender lunar yang dipakai sebagi rujukan, sudah barang tentu updating dan koreksian akibat rotasi dan revolusi bulan-bumi-matahari dapat dilakukan setiap saat. Tapi kita memang sudah sepakat untuk memakai kalender solar CE (Common Era - saya lebih suka pakai common era daripada Masehi) sebagai kalender rujukan, karena mayoritas penduduk bumi memakai sistim kalender CE. Dengan menganut sistim kalender CE maka koreksian dan pengecekan peredaran bumi dan bulan dilakukan seperlunya sesuai dengan kebutuhan seperti halnya penentuan awal puasa dan idul fitri saja. Sebetulnya Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, Dia menyuruh ummat Islam berbuka besok, kalau sudah melihat bulan pada magrib hari ini. Terlihat bahwa Tuhan memakai dua standar waktu, kata "besok, siang dan malam" adalah merujuk ke sistim solar, sementara perhitungan awal bulan merujuk ke sistim lunar. Apa jadinya kalau misalnya dipakai sistim solar saja, maka hari-hari puasa disatu daerah akan selalu panjang karena berada di musim panas, sementara kebalikannya akan sangat pendek untuk daerah musim dingin. Sementara itu kalau pakai sistim lunar tidak memiliki istilah siang dan malam (siang dan malam adalah merujuk solar). Manusia disuruh berpikir dengan kedua rujukan ini dalam satu sistim besar jagad raya.

Apakah melihat bulan seperti yang diwahyukan dapat dilakukan dengan cara melihat dengan ilmu atau harus melihat dengan mata kepala? Biarlah ini menjadi kompetensi ahli fiqh. Yang jelas saat ini yang berkembang adalah metoda penentuan awal bulan dengan dua cara, yaitu melihat bulan dengan ilmu hisab dan melihat dengan mata kepala (rukyah). Dan kelihatannya ahli fiqh membenarkan kedua hal ini, terlihat dari himbauan-himbauan yang dilakukan oleh pemimpin ummat untuk tidak mempersoalkan perbedaan ini.

Suatu hal yang disayangkan adalah pemasangan label atau cap pada pengikut kedua cara ini di Indonesia. Yang mengikuti metoda hisab akan di"cap" sebagai golongan Muhammadiyah (karena Muhammadiyah secara organisatoris menganut metoda ini) dan pengikut rukyah sebagai non-Muhammadiyah, atau malah ada yang mencap sebagai NU. Ada pengecualian NU se Jawa Timur juga ber idul fitri hari Senin 23 Oktober 2006, bukan dengan alasan hisab karena ada yang merukyah bulan pada malam sebelumnya. Sudah waktunya kita tidak memberi label dengan cara generalisasi, karena tidak semua ummat yang idul fitri hari Senin adalah Muhammadiyah. Sekedar fakta saja yang membuat indikasi belumlah cukup untuk pemberian label. Fakta hanya fenomena, sementara label golongan adalah berbicara tentang konsep.

Kembali kepada kegelisahan TH, pemimpin ummat atau golongan seyogyanya melihat kemaslahatan ummat. Apalagi tentang idul fitri dan puasa yang merupakan ibadah individual tapi dilakukan secara bersama atau serentak. Kalau keserentakan ini yang diambil sebagai kriteria, maka saya yakin akan ada kesepakatan untuk penentuan idulfitri ataupun awal puasa. Tapi kalau perintah "melihat bulan" sebagai kriteria, maka kita harus bijak dalam menerima kenyataan bahwa ada dua metoda yang tidak akan mungkin disatukan. Tinggal dipilih kriteria yang mana.

Semoga kedamaian selalu meliputi ummat yang secara fitrah memang berbeda.