Thursday, September 08, 2011

Terpikirkan pun Tidak

Menggunakan kendaraan umum di Negara maju adalah menikmati kenyamanan dan ketepatan waktu. Tapi kali ini saya tidak akan membicarakan kwalitas pelayanan yang prima tersebut, tapi pengalaman yang menyentak saya, saat berdialog dengan orang lokal. Salah satu sistim pembayaran adalah dengan satu tiket terusan dapat dipergunakan untuk bebeberapa moda angkutan dalam satu rentang waktu pemakaian, maka sangat mudah sekali untuk ‘ngakali’ agar tidak bayar tiket. Apalagi pemeriksaan tiket dalam kendaraan hampir tidak ada. Saya bertanya langsung kepada penduduk lokal yang kelihatannya sering memakai transportasi umum: “Apakah banyak orang yang tidak bayar mengingat kontrolnya sangat minim”. Inilah jawaban yang menyentak saya: “Pertanyaan anda tidak dapat saya jawab, karena bagi saya terpikir pun tidak untuk tidak bayar”.

Bandingkan dengan di sini. Semua kemungkinan untuk tidak membayar pasti sudah dieksplorasi oleh pengguna, sehingga ada orang yang berpikiran dengan kata kunci: ‘kalau bisa ngakali kenapa harus bayar?’ Ini adalah pikiran yang merefleksikan moral tidak jujur. Konstruksi moral yang terbangun dalam masyarakat kita adalah konstruksi yang tidak jujur, tidak fair, tidak menghargai nilai-nilai. Kita tidak perlu menutup-nutupi keadaan ini, kita harus mengakui agar punya tekad untuk memperbaiki. Moralitas tidak jujur yang sudah terbangun selama ini mengembang biak menjadi penipuan dan korupsi. Moralitas ini terbangun sengaja atau tidak, sejak dari pendidikan dasar. Sekolah yang menoleransi kecurangan ujian, mark-up nilai rapor, dll; yang setiap musim ujian nasional selalu menjadi ‘trend topic’. Sistim sekolah yang secara sempurna ‘ngakali’ pemungutan kepada orang tua murid yang menurut peraturan sudah dilarang. Semuanya selalu berada dalam semangat mencari celah segala aturan dan larangan yang ada. Parlemen pun ikut-ikutan mengatur budget demi kepentingan pribadi dan kelopmpok. Sekarang moral ditentuan oleh peraturan tertulis, pada hal nilai-nilai agung kejujuran tidak bisa dibuat tertulis.

Kata kuncinya baru yang harus dipromosikan adalah: ‘terpikirpun tidak untuk tidak bayar’. Ini refleksi dari satu moralitas yang penuh dengan kejujuran, kepatuhan pada sistim yang telah disepakati. Konstruksi pemikiran yang jujur, bahwa kita harus membayar satu layanan yang dipakai dan menghargai nilai-nilai. Pada gilirannya moralitas ini membuat orang-orang menganut nilai ‘terpikirpun tidak’ untuk korupsi, untuk menipu, untuk tidak bayar layanan yang dipakai…..dst.

Membangun moralitas yang penuh kejujuran harus dimulai sejak dini dalam lingkungan keluarga, sekolah dan komunitas. Kecurangan disekolah tidak lagi ditolerir, tipuan-tipuan dan kebohongan kecil jangan didemonstrasikan didepan anak-anak dilingkungan keluarga. Disadari atau tidak perilaku penipuan, dan kebohongan sering kita lakukan didepan anak-anak dalam keluarga. Dan ada gejala institusi sekolah yang secara terselubung melakukan kospirasi kecurangan ujian demi menjaga prestasi sekolah. Ini konsep pemikiran yang amat sangat buruk, apalagi dalam dunia pendidikan. Moralitas ini menumbuh suburkan korupsi, menghilangkan kemampuan untuk menganut idiom ‘terpikirkan pun tidak’ untuk melakukan sesuatu yang secara moral tidak terpuji.

Kejujuran inilah juga tujuan puasa yang baru saja kita lewati. Seyogyanya puasa adalah ibadah rahasia antara manusia dan Tuhan. Hanya pribadi yang puasa dan Tuhan yang tahu seseorang puasa atau tidak. Sayang sekali moralitas puasa tidak terefleksi dalam masyarakat kita. Puasa telah menjadi rutinitas, koruptor puasa, penipu puasa, orang jujur puasa walaupun yang mereka peroleh dari puasa berbeda-beda.

Kembali keawal tulisan, tentang Negara maju. Terpikir oleh saya apakah Negara maju itu bisa maju karena kejujuran atau karena telah jadi Negara maju maka mereka bisa jujur. Saya lebih setuju yang pertama.


Adli Usuluddin, 7 September 2011.