Saturday, September 19, 2009

Puasa dan Iedulfitri.

Puasa bagi kaum muslimin adalah ibadah wajib, merupakan bagian dari rukun Islam. Menurut ilmu fiqh. rukun adalah syarat yang kalau tidak dilakukan akan menjadi batal keislamannya. Demikianlah Allah telah mewajibkan kita berpuasa dibulan ramadhan seperti termaktub dalam al-Quran surat ke-dua yaitu al-Baqarah ayat 183 -184. Ayat ini dengan jelas dan tegas menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah wajib, bagi umat muslim yang baligh, sehat dan tidak sedang dalam perjalanan.

Ibadah puasa disamping sebagai rukun yang wajib dilakukan, terdapat beberapa manfaat yang terkandung dalamnya. Para ulama banyak yang mengaitkan puasa sebagai latihan mengendalikan diri dalam memanage nafsu dan keinginan yang sebetulnya dihalalkan. Beberapa diantara mereka juga mengaitkan puasa sebagai solidaritas dengan kaum papa dan du’afa dalam merasakan bagaimana penderitaan mereka tidak makan dan tidak minum.
Satu hal yang mungkin tidak banyak disadari dalam berpuasa adalah puasa sebagai pemicu untuk menyukuri nikmat dari Allah swt. Kita bayangkan setelah seharian tidak makan dan tidak minum dari fajar sampai magrib, dan kebahagiaan yang dinikmati pada saat berbuka. Kita berbuka hanya dengan segelas air sudah menghilangkan haus. Segelas air yang harganya sangat murah, malah kebanyakan kita mendapatkannya gratis dari alam. Saat itulah kita harus menyukuri nilai segelas air yang telah melepaskan dahaga kita seharian. Kemudian kita akan sadar bahwa demikian berharganya air, maka kita harus tetap menghargai walaupun tidak lagi sedang berpuasa.
Demikian juga halnya dengan hal lain, disamping menghargai air, puasa juga akan memberikan kita kesadaran untuk menghargai makanan. Untuk hal yang sudah kita peroleh dan sangat berharga yang kita nikmati itulah kita perlu bersyukur.
Demikianlah manfaat puasa, disamping menahan haus dan lapar, merasakan kehidupan kaum papa, juga seharusnya mendidik kita untuk bersyukur.

Setelah berpuasa sebulan penuh, maka puasa diakhiri dengan perayaan iedulfitri yang kita kenal secara populer sebagai lebaran. Iedulfitri adalah saat kita kembali ke fitrah setelah melalui bulan puasa sebagai bulan penggemblengan. Kembali ke fitrah adalah kembali pada kondisi seolah-olah kita baru dilahirkan kembali, seperti bayi yang tidak berdosa. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan yang sempurna sebagai hewan yang berpikir atau berakal dan menyadari dirinya sebagai makhluk yang harus mengabdi hanya kepada Khalik saja. Laqad khalaqna fi ahsani taqwim, sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S.65 at-Tin ayat 4). Fitrah adalah potensi asasi manusia. Gambaran kembali kefitrah ini menunjukkan bahwa Islam sangat mengutamakan harkat kemanusiaan, dimana hak asasi manusia harus dilindungi. Harkat kemanusiaan ini tercermin dengan mempererat silaturahim dalam merayakan Iedulfitri dengan cara antara lain dengan memberi dan meminta maaf kepada sesama dan saling berkunjung kepada handai taulan.

Marilah kita berdoa semoga puasa kita pada ramadhan tahun ini mendapat berkah Nya, dan membuat kita semakin bersyukur, yang disusul dengan mempererat silaturrahmi dalam menghargai harkat kemanusiaan.

Wallahu a’lam

Adli Usuluddin
18 September 2009/28 Ramadhan 1430

Sunday, September 13, 2009

Lebaran, oh.....lebaran.

Lebaran kembali kita jelang, sebagaimana dengan lebaran sebelumnya, hingar bingar mulai terasa. Warga urban mulai mempersiapkan diri untuk mudik, suatu ritual yang dilakukan setiap lebaran. Mudik hanya terjadi dikalangan urban yang merupakan migran dari desa kekota. Bagi yang tidak mudik akan sibuk dengan rencana memanfaatkan libur panjang disamping acara silaturrahmi keluarga.

Persiapan memasuki lebaran secara merata baik dikalangan migran atau bukan, adalah persiapan pesta lebaran yang istimewa, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pesta lebaran dilakukan setelah menahan diri sebulan penuh bagi yang berpuasa. Kita tidak akan membahas apakah perlu pesta atau bukan, tapi kenyataan membuktikan bahwa untuk mempersiapkan pesta lebaran akan memberi pengaruh yang signifikan pada roda perekonomian pasar.

Kenyataan yang terjadi adalah bahwa menjelang lebaran harga bahan pangan akan naik, bahkan untuk beberapa komoditi kenaikannya sampai berlipat. Memang harga naik akibat hukum permintaan dan penawaran, dimana saat menjelang lebaran permintaan naik sedangkan penawaran tidak dapat mengikuti kenaikan permintaan. Hal ini juga terjadi pada hari raya agama umumnya seperti menjelang natal. Sementara itu di Indonesia karena Islam agama dominan maka kenaikan harga pangan semakin terasa saat menjelang lebaran baik bgi yang merayakan maupun yang tidak.
Pemerintah Indonesia telah diamanatkan bahwa dalam kebutuhan pokok manusia terutama pangan dapat dikendalikan pemerintah. Pengendalian pangan dilakukan dengan antara lain dengan membentuk badan pengendali ketersediaan pangan yang bernama Badan Urusan Logistik atau disingkat Bulog. Tugas utama Bulog adalah mengendalikan agar penawaran (suplai) pangan tetap terjamin untuk menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran. Kalau keseimbangan antara permintaan dan penawaran berhasil, maka dapat dipastikan harga tidak akan naik secara menggila. Bukankah harga untuk komoditi yang berada dibawah kendali hanya bisa naik kalau ongkos produksi naik.

Pertanyaannya yang timbul adalah; dengan lebaran yang terjadi setiap tahun dan waktunya dapat diprediksi dengan tepat, apakah tidak ada langkah yang jitu yang dapat dilakukan untuk mengendalikan harga pangan, tidak hanya berupa operasi pasar sekedarnya yang berlangsung sesaat dan pada lokasi yang terbatas?

13 September 2009.

Saturday, September 05, 2009

Malaysia… oh…Malaysia.

Berita aktual minggu ini adalah isu tentang kekesalan terhadap Malaysia. Kekesalan bermula dari adanya iklan pariwisata Malaysia yang ditayangkan oleh studio televisi Discovery dengan sajian tari pendet. Iklan ini telah mengusik ketenangan setelah hiruk pikuk pemilu presiden yang disusul dengan isu teroris yang cukup menyita banyak perhatian media masa.

Media masa menyambut isu ini dengan gempita, karena mendapat bahan pemberitaan yang ekslusif sebagai kontinuitas gegap gempitanya isu yang menjadi sumber berita sebelumnya. Isu ini cenderung dipertahankan dengan kemasan yang menarik, terutama oleh media televisi.

Kembali kepada topik yang dibicarakan adalah tentang isu Malaysia. Perlu dilakukan kajian yang jernih tentang isu ini, baik berupa klaim budaya sampai dengan penghinaan. Diberitakan Malaysia mengklaim tari pendet sebagai tarian Malaysia dalam iklan Discovery tersebut. Sesungguhnya tidak ada klaim dari mereka atas tarian tersebut, hanya interpretasi kita saja yang mengatakan begitu. Kelihatan kita terlalu emosi menanggapi isu tari pendet, padahal sebenarnya masalah tidaklah substantif dalam skala hubungan antar negara. Apalagi Malaysia sudah memberi penjelasan dan minta maaf sesuai dengan tatakrama internasional.

Media televisi mengemas isu ini dengan menyajikan rangkaian fakta-fakta mulai tari pendet, tentang lirik Indonesia Raya yang dirubah, Ambalat, dan TKI kedalam suatu skenario. Secara sendiri-sendiri faktanya tidak dapat dibantah, namun akibat kemasan penyajiannya menjadikan seolah-olah dalam satu rangkaian yang terencana. Alangkah bodohnya pemerintah Malaysia melakukan itu secara terencana dalam suatu rangkaian karena dalam era globalisasi yang dibutuhkan adalah kerjasama bukan pertentangan.
Ada stasiun televisi dengan santer menyajikan isu ini secara masif, bahkan mengundang narasumber untuk diwawancarai. Tentu saja narasumber yang diundang adalah yang dapat mendukung skenario yang sudah disiapkan. Sajian ditambah dengan film yang menggambarkan kegiatan Bung Karno waktu konfrontasi dulu. Maksudnya mungkin untuk meningkatkan rating agar pemasukan iklan semakin besar. Tapi yang terjadi malahan rakyat menjadi terprovokasi. Isu konfrontasi dengan slogan ”ganyang Malaysia” kembali dikobarkan, yang sudah tentu akan membakar emosi masyarakat awam. Demikian pula halnya dengan lagu kebangsaan Malaysia ’Negaraku’ yang ditenggarai sebagai jiplakan lagu Terang Bulan. Padahal lagu seperti itu sudah ada sejak abad ke 18 diciptakan oleh orang Perancis. Kalaupun misalnya Negaraku adalah jiplakan dari Terang Bulan, bukankah logikanya kita patut berbangga, lagu yang disini dianggap biasa-biasa saja malahan dihormati jadi lagu kebangsaan Malaysia. Kita harus dapat memisahkan antara niat; kekeliruan; atau individu yang iseng dan nakal, janganlah sampai terpancing kedalam isu yang tidak substansial.

Televisi adalah media audivisual yang sangat effektif, gambar yang ditayangkan memuat sejuta kata yang tidak dapat dilakukan oleh media cetak maupun radio yang bahkan kadang-kadang gambar tidak memerlukan kata-kata sama sekali. Memang tidak perlu ajakan eksplisit, karena tanpa diajak eksplisit pun penonton sudah terpengaruh. Informsi memang perlu dicerna, tapi tidak semua orang cerdas sehingga dapat memilah. Pemirsa TV adalah dari segala golongan mulai dari yang cerdas dan berwawasan, sampai yang tidak mengerti dan berwawasan dangkal.

Sebagai contoh : televisi barat sangat pintar memanfaatkan kekuatan gambar, sering kita lihat kalau teroris beragama Islam tertangkap, diperlihatkan kegiatan kesehariannya shalat dan pergi kemasjid dengan gamblang walaupun tanpa narasi. Sebaliknya kalau teroris Belfast Irlandia yang notabene Katolik yang tertangkap, tidak pernah diperlihatkan kesehariannya ke gereja. Akibatnya dunia menuai stigmatisasi Islam seperti yang terjadi saat ini. Apakah televisi kita bermaksud sama dengan televisi barat untuk isu ini? Apakah sebenarnya ada kekesalan lain terhadap unjuk kerja pemerintah atau terhadap hasil pemilu, sehingga kekesalan ditumpahkan lewat isu lain?

Konfrontasi seperti yang pernah dialami akan menguras sumber daya yang besar sekali, sementara jalan yang lebih murah dan elegan masih tersedia. Akankah kita negara serumpun yang mempunyai akar budaya yang sama akan terseret kedalam pertentangan yang tidak perlu? Banyak contoh ketegangan yang terjadi antar beberapa negara dizaman modern ini --bahkan mereka tidak serumpun-- sebagian besar dapat diselesaikan dengan cara damai dan bermartabat. Itu yang terjadi misalnya waktu pesawat Korea Selatan yang ditembak jatuh oleh Soviet diatas pulau Sachalin beberapa dekade yang lalu, walaupun terjadi korban jiwa yang banyak, tetap dapat diselesaikan dengan elegan. Demikian juga halnya perselisiham kita dengan Malaysia masalah pulau Lingitan, walaupun terjadi suasana emosional sesaat, namun selesai dengan elegan dan terhormat. Jangan sampai terjadi kita perang dengan Malaysia gara-gara lagu dan tari, seperti perang antara Honduras dan El Salvador pada tahun 1969 gara-gara pertandingan sepakbola.

Kepada stasiun televisi sebaiknya tetap menyajikan fakta dalam rangkaian obyektif; dan mengundang narasumber yang seimbang, sehingga azas cover both sides tetap dipertahankan. Sebaiknya juga televisi melakukan sajian persuasif kearah perdamaian, bukan dengan sajian gelora nasionalisme yang dangkal, yang sekedar mengangkat rating, karena kita tidak ingin berada dalam suasana tegang ataupun perang. Janganlah membesar-besarkan isu yang tidak substansial menjadi isu yang provokatif, karena sikap inilah yang membuat kita dilecehkan.


31 Agustus 2009