Monday, October 31, 2011

Kurban

Setiap Iedul-adha bagi ummat Islam yang mampu secara ekonomi, sangat dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban. Kurban berasal dari bahasa Arab qaraba yang artinya dekat, dengan demikian kurban adalah melakukan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata kurban dalam pemakaian praktis sehari-hari berarti: memberikan sesuatu yang bernilai dengan percuma; atau dapat juga berarti: kerugian/kecelakaan akibat sesuatu. Tulisan ini berada dalam konteks pengertian praktis tersebut.

Hewan kurban yang disyariatkan dalam Islam adalah hewan yang biasa dikonsumsi dagingnya seperti: kambing, domba, onta, sapi, kerbau, dll. Skala terkecil bagi satu orang untuk berkurban adalah seekor kambing atau domba, sementara sapi atau onta boleh untuk kurban tujuh orang. Kemudian daging sembelihan dibagikan kepada masyarakat lingkungan lokasi penyembelihan.

Penyembelihan dilaksanakan sesudah shalat Ied atau sampai 3 hari sesudahnya. Panitia kurban akan menyediakan tukang jagal, namun setiap yang berkurban ditawarkan apakah akan menyembelih sendiri hewan kurbannya. Karena penyembelihan tidak sepenuhnya dilakukan oleh professional, termasuk pengelolaan pasca penyembelihan, akan sangat mungkin menimbulkan dampak negatif. Antara lain dampak nya adalah tingkat higienis daging tidak terjamin; terjadi pencemaran lingkungan disekitar area penyembelihan yang ditimbulkan oleh aroma tidak enak dan tidak sehat baik dari kotoran maupun darah hewan.

Secara tradisional di Indonesia, biasanya penyembelihan dilakukan dilapangan terbuka, seperti halaman masjid atau musholla. Acara penyembelihan merupakan peristiwa yang jarang terjadi, membuat acara ini menarik perhatian sehingga banyak disaksikan oleh masyarakat, termasuk anak-anak. Penyembelihan sendiri adalah peristiwa pembunuhan berdarah atas hewan kurban. Meskipun tatacara penyembelihan telah sesuai dengan syariat, namun peristiwa itu sendiri adalah mengesankan kekejaman. Kondisi ini membuat dampak negatif lain, dimana anak-anak yang menyaksikan akan terpengaruh, dan dikuatirkan menjadi terbiasa dengan pertumpahan darah. Secara psikologis akan membangkitkan naluri kekejaman dan mengendap menjadi memori yang suatu waktu dikuatirkan akan bangkit berupa kekejaman sesama manusia.

Mungkin sudah saatnya kita memikirkan, apakah tidak sebaiknya penyembelihan hewan kurban dilakukan di rumah potong hewan (RPH). Disana pemotongan dan pengelolaan pasca pemotongan akan lebih professional dengan standar operasi penanganan yang hygienis. Anak-anak juga dapat dijauhkan dari efek negatif tentang kekejaman. Lebih utamanya lagi adalah hewan kurban berada ditangan ahlinya, sesuai dengan anjuran Islam untuk menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya. Langkah ini akan mendekatkan kita kepada Allah sesuai dengan essensi dari kurban sendiri.

31 Oktober 2011
Adli Usuluddin

Tuesday, October 11, 2011

Masjid yang Sepi.

Ada fenomena tentang kemakmuran masjid saat ini yang berawal dari aktifitas masjid selama bulan Ramadhan yang lalu. Kebanyakan masjid dipenuhi jamaah sampai melimpah pada bulan puasa Ramadhan, kemudian kembali sepi setelah puasa lewat. Kenyataan itu terjadi pada hampIr di seluruh masjid kita, termasuk masjid dikompleks perumahan saya. Kenapa pada bulan Ramadhan masjid penuh dalam menunaikan shalat tarawih yang menurut fiqh hukumnya sunat, sementara setelah bulan Ramadhan shalat lima waktu yang ibadah wajib malahan jamaah masjid sering sepi.

Kenapa pertanyaan dan kekuatiran tentang jumlah jamaah masjid ini timbul? Apakah karena masjid dibangun agar diramaikan oleh jamaah, atau masjid dibangun untuk memfasilitasi jamaah? Ataukah karena sepinya masjid, kita tidak bisa membanggakan agama kita, atau kita memang perduli pada jamaah? Pertanyaan ini beruntun muncul dalam pikiran saya.

Masjid dikenal sebagai tempat menampung aktifitas ibadah dan sosial umat islam, demikianlah konon yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sekelompok jamaah yang membangun masjid untuk keperluan mereka dan memanfaatkannya sesuai dengan keperluan, namun apabila masjid dibangun agar diramaikan oleh jamaah rasanya tidak tepat. Kalaulah mereka tidak memanfaatkan dengan maksimal maka itu adalah masalah mereka sendiri, berarti mereka tidak memanfaatkan hak mereka atau mereka melalaikan kewajiban beragama.

Berbeda dengan jika alasannya kita perduli pada jamaah. Kalau memang masjid perduli dengan kehidupan beragama jamaahnya bahwa kewajiban untuk melaksanakan shalat wajib berjamaah di masjid, namun tidak dilakukan. Hal ini tidak dapat dikontrol oleh siapapun kecuali oleh pribadi-pribadi jamaah sendiri. Keperdulian para pemuka agama dan mubaligh hanya terbatas pada sekedar menyampaikan seruan.

Akan lebih salah kalau misalnya kekuatiran sepinya masjid menjadikan kita tidak bisa membanggakan agama kita. Syiar agama harusnya ditunjukkan pada tingkah laku umat dalam bermasyarakat, sejauh mana kita bermanfaat bagi manusia lain. Karena pengertian syiar adalah lebih kepada kesalehan sosial dalam hubungan antar manusia dan lingkungan hidup, sementara hubungan dengan Tuhan tetap menjadi hak perogratif pribadi atau kesalehan personal.

Kenapa masjid sepi setelah puasa, menurut pengamatan saya karena cara mendekati Islam selama ini salah atau lebih tepat tidak lengkap. Sebagian besar umat mendatangi masjid pada bulan puasa karena keinginan untuk mengumpulkan pahala sebesar-besarnya. Ibadah apapun pada bulan puasa akan diberi pahala berlipat. Pendekatan demikian yang dominan mereka terima sedari kecil sejak mulai mengenal Islam, dan itu sangat kental mewarnai watak dan karakter serta perilaku beribadah umat.

Sebuah kerja besar umat Islam agar penerapan konsep Islam rahmatan lil-alamin, adalah dengan membentuk watak dan karakter serta perilaku sejak usia dini. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda: ”Tiap-tiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci hingga dapat berbicara, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. Hadist ini sebetulnya memberikan suatu kosep pendidikan bahwa pembentukan watak harus dimulai sejak usia dini. Pendidikan sejak dini dilakukan baik oleh orang tua biologis maupun orang tua sosial. Dari usia dini mereka harus diberi pengertian dan contoh bahwa masjid adalah tempat yang menyenangkan. Mereka harus dibuat rileks dalam masjid, bahwa masjid memberikan rasa aman dan tempat berlindung, bukan sebagai tempat yang menakutkan.

Lebih jauh lagi, pengenalan agama seyogyanya dimulai dengan memberikan pelajaran tentang buruk dan baik, tanpa dikaitkan dengan fiqh yang kaku tentang pahala dan dosa. Termasuk dalam mengajarkan bagaimana adab didalam masjid. Inilah kerja besar Islam yang perlu dimulai sejak sekarang.

11 Oktober 2011.

Thursday, September 08, 2011

Terpikirkan pun Tidak

Menggunakan kendaraan umum di Negara maju adalah menikmati kenyamanan dan ketepatan waktu. Tapi kali ini saya tidak akan membicarakan kwalitas pelayanan yang prima tersebut, tapi pengalaman yang menyentak saya, saat berdialog dengan orang lokal. Salah satu sistim pembayaran adalah dengan satu tiket terusan dapat dipergunakan untuk bebeberapa moda angkutan dalam satu rentang waktu pemakaian, maka sangat mudah sekali untuk ‘ngakali’ agar tidak bayar tiket. Apalagi pemeriksaan tiket dalam kendaraan hampir tidak ada. Saya bertanya langsung kepada penduduk lokal yang kelihatannya sering memakai transportasi umum: “Apakah banyak orang yang tidak bayar mengingat kontrolnya sangat minim”. Inilah jawaban yang menyentak saya: “Pertanyaan anda tidak dapat saya jawab, karena bagi saya terpikir pun tidak untuk tidak bayar”.

Bandingkan dengan di sini. Semua kemungkinan untuk tidak membayar pasti sudah dieksplorasi oleh pengguna, sehingga ada orang yang berpikiran dengan kata kunci: ‘kalau bisa ngakali kenapa harus bayar?’ Ini adalah pikiran yang merefleksikan moral tidak jujur. Konstruksi moral yang terbangun dalam masyarakat kita adalah konstruksi yang tidak jujur, tidak fair, tidak menghargai nilai-nilai. Kita tidak perlu menutup-nutupi keadaan ini, kita harus mengakui agar punya tekad untuk memperbaiki. Moralitas tidak jujur yang sudah terbangun selama ini mengembang biak menjadi penipuan dan korupsi. Moralitas ini terbangun sengaja atau tidak, sejak dari pendidikan dasar. Sekolah yang menoleransi kecurangan ujian, mark-up nilai rapor, dll; yang setiap musim ujian nasional selalu menjadi ‘trend topic’. Sistim sekolah yang secara sempurna ‘ngakali’ pemungutan kepada orang tua murid yang menurut peraturan sudah dilarang. Semuanya selalu berada dalam semangat mencari celah segala aturan dan larangan yang ada. Parlemen pun ikut-ikutan mengatur budget demi kepentingan pribadi dan kelopmpok. Sekarang moral ditentuan oleh peraturan tertulis, pada hal nilai-nilai agung kejujuran tidak bisa dibuat tertulis.

Kata kuncinya baru yang harus dipromosikan adalah: ‘terpikirpun tidak untuk tidak bayar’. Ini refleksi dari satu moralitas yang penuh dengan kejujuran, kepatuhan pada sistim yang telah disepakati. Konstruksi pemikiran yang jujur, bahwa kita harus membayar satu layanan yang dipakai dan menghargai nilai-nilai. Pada gilirannya moralitas ini membuat orang-orang menganut nilai ‘terpikirpun tidak’ untuk korupsi, untuk menipu, untuk tidak bayar layanan yang dipakai…..dst.

Membangun moralitas yang penuh kejujuran harus dimulai sejak dini dalam lingkungan keluarga, sekolah dan komunitas. Kecurangan disekolah tidak lagi ditolerir, tipuan-tipuan dan kebohongan kecil jangan didemonstrasikan didepan anak-anak dilingkungan keluarga. Disadari atau tidak perilaku penipuan, dan kebohongan sering kita lakukan didepan anak-anak dalam keluarga. Dan ada gejala institusi sekolah yang secara terselubung melakukan kospirasi kecurangan ujian demi menjaga prestasi sekolah. Ini konsep pemikiran yang amat sangat buruk, apalagi dalam dunia pendidikan. Moralitas ini menumbuh suburkan korupsi, menghilangkan kemampuan untuk menganut idiom ‘terpikirkan pun tidak’ untuk melakukan sesuatu yang secara moral tidak terpuji.

Kejujuran inilah juga tujuan puasa yang baru saja kita lewati. Seyogyanya puasa adalah ibadah rahasia antara manusia dan Tuhan. Hanya pribadi yang puasa dan Tuhan yang tahu seseorang puasa atau tidak. Sayang sekali moralitas puasa tidak terefleksi dalam masyarakat kita. Puasa telah menjadi rutinitas, koruptor puasa, penipu puasa, orang jujur puasa walaupun yang mereka peroleh dari puasa berbeda-beda.

Kembali keawal tulisan, tentang Negara maju. Terpikir oleh saya apakah Negara maju itu bisa maju karena kejujuran atau karena telah jadi Negara maju maka mereka bisa jujur. Saya lebih setuju yang pertama.


Adli Usuluddin, 7 September 2011.

Sunday, August 21, 2011

Lailatul Qadr

Topik pembicaraan umat islam pada sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah lailatul qadr atau malam kemuliaan. Pengajian di masjid-masjid sering membahas suatu malam yang hening, tanpa bintang, tanpa angin, …dan seterusnya. Gambaran malam yang fisikal yang berbeda dengan malam-malam yang lain disebutkan sebagai tanda yang menjadikan lailatul qadr istimewa, dengan tambahan gambaran dari Al-Quran bahwa pada malam itu malaikat turun. Konstruksi pemikiran demikian terpupuk sejak kecil sampai masa dewasa dan tua. Tidak dapat disalahkan sebagian besar umat islam membayangkan lailatul qadr sesuai dengan pengertian yang dibangun demikian.

Saya berpendapat lain dalam mempersepsikan lailatul qadr. Kalau kita kutip dari al-Quran 97 ayat 2 – 5 : “Dan tahukah kamu apakah lailatul qadr (malam kemuliaan) itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam itu diturunkan para malaikat dan ruh (jibril) dengan izin Tuhannya. Sejahteralah, sampai terbit fajar.” Ayat-ayat tersebut sama sekali tidak memberikan gambaran fisik lailatul qadr selain lebih baik daripada seribu bulan, bahkan kapan lailatul qadr itupun tidak disebutkan. Jadi kenapa kita harus berusaha mencari tanda-tanda fisik malam itu?

Menurut hemat saya lailatul qadr seyogyanya dimaknai secara spiritual bukan ditandai oleh 'keanehan' fisikal malam. Sejahteralah sampai terbit fajar, adalah petunjuk dan gambaran spiritual bagi yang mengalaminya. Sejahtera adalah keadaan dimana kesadaran penuh akan ke-Esa-an Allah Sang Pencipta. Sejahtera memerlukan persiapan atau pra-kondisi, sejauh mana kita mengingat Allah (dzikrullah),sejauh mana derajat kebaikan kita, derajat kesadaran beramal dan beribadah, dan kebaikan-kebaikan lainnya, yang nilainya disebutkan lebih baik dari seribu bulan. Pada saat kesiapan-kesiapan ini lengkap, lailatul qadr yang akan mendatangi kita. Kita akan masuk dalam kesadaran illahiyah, ibarat gelombang yang sadar bahwa dirinya lautan.

Wallahu a’lam.

21 Agustus 2011/21 Ramadhan 1432

Wednesday, August 17, 2011

Non-Islam Tidak akan Masuk Sorga.

Seorang penanya pada sebuah kolom online bertanya kepada ustadz pengasuh rubrik tanya jawab sebagai berikut: “Saya pernah mendengar bahwa orang yang tidak beragama Islam (non-Islam) yang selalu berbuat baik dalam hidupnya tetap tidak masuk sorga. Apakah itu benar?” Ustadz, yang berlatar belakang keilmuan dengan gelar akademis tinggi, menjawab dengan penjelasan tentang orang Islam dan aqidah. Beliau mengatakan bahwa non- Islam tidak mempunyai aqidah atau ikatan dengan Allah, mereka adalah orang tidak beriman. Jawaban ini dilengkapi dengan ayat Al-Quran surat Annur (24) ayat 39, bahwa: ”…..“Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana……”……” Kesimpulannya dari penjelasan sang ustadz adalah: “Mereka tidak dapat masuk sorga, mereka tidak akan memperoleh keridhaan untuk menikmati sorganya Allah.”

Saya tidak setuju dengan pendapat ini, karena menurut saya arti dari ayat 24:39 “Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah rata, yang disangka air bagi orang kehausan, hingga ketika mereka mendekati dan tidak satupun....” Maksudnya lebih tepat apabila kita mendekat dan kita tidak/belum menemui Allah di sisi kita, maka artinya kita masih terhijab/mengingkari (kafir). Dan kebanyakkan orang masih diposisi ini apakah mereka Islam ataupun non Islam.

Kita lihat ada 3 subyek yang menjadi pokok bahasan diatas, yaitu : orang tidak beriman, orang kafir dan non-Islam. Sekilas memang jawaban yang diberikan ustadz diatas adalah jawaban yang dapat diterima secara umum. Konstruksi pemikiran yang dibangun adalah: non-Islam, orang tidak beriman, orang kafir adalah sama. Konstruksi pemikiran yang dianut ini sudah sangat solid dikalangan mainstream Islam.

Saya punya pendapat lain tentang ini. Pertama-tama saya ingin membedakan Islam (I-capital) dan islam (i-kecil). Islam dengan I-capital adalah nama sebuah agama yang dibentuk menjadi sebuah institusi dengan syarat dan aturan yang mengikat penganutnya; sementara itu islam dengan i-kecil adalah suatu ketundukan kepada Allah. Islam (i-kecil), sesuai dengan makna kata sin-lam-mim yaitu selamat, berserah diri, damai, kepatuhan atau ketundukkan. Jadi orang disebut ber-islam ketika dia telah berserah diri secara total kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya, dan yang lebih penting orang tersebut juga memberikan rasa damai dan keselamatan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. (lihat juga al-Quran 2 : 112). Untuk membedakan pengikutnya, saya menyebut pengikut yang beragama Islam (dg I-capital) sebagai muslim (dg m-kecil); dan pengikut islam (i-kecil) sebagai Muslim (dg M-capital). Saya juga ingin menambahkan bahwa ayat al-Quran 3 : 19: “inna diina ‘indallahi alislam” semestinya diterjemahkan dengan “sesungguhnya ketundukan disisi Allah adalah keberserahan diri”.

Selanjutnya orang beriman, dalam al-Quran beberapa kali disebut sebagi orang yang percaya kepada Pencipta, pada yang gaib dan pada hari akhir. Iman berasal dari kata alif-mim-nun yang berarti merasa aman dan tentram atau secure bersama dengan Allah. Sesungguhnya orang yang belum merasa aman belumlah dapat disebut sebagai orang beriman. Orang beriman bukan hanya orang Islam (muslim), bahkan ahli kitab yang bukan Islam sekalipun dapat disebut sebagai orang beriman seperti yang disebut al-Quran 3 : 114 dan 3 : 199. Terlihat disini bahwa klaim orang beriman bukanlah milik orang Islam semata.

Kemudian orang kafir, adalah orang yang mengingkari Pencipta sesuai dengan arti kata kaf-fa-ra yaitu ingkar. Orang kafir adalah tidak beriman, karena keingkarannya tersebut. Keingkaran seseorang dilihat dari sikapnya yang antara lain adalah tidak menghormati Pencipta yang akan terlihat dalam sikapnya yang tidak menghormati ciptaan-Nya. Dengan pengertian ini maka kekafiran akan ada pada penganut Islam maupun non-Islam.

Kalau merujuk kedalam al-Quran, yang menentukan adalah amal yang dilakukan seseorang. Mereka yang mengimani Pencipta, melaksanakan kepedulian sosial seperti zakat dan sedekah akan diberi ganjaran yang sesuai sehingga tidak perlu merasa takut akan hari kemudian, seperti juga termuat antara lain dalam al-Quran 2 : 277. Janji Allah untuk tidak perlu takut itu tidak sejalan dengan jawaban ustadz diatas bahwa non-Islam tidak dapat masuk sorga.

Diluar dari pendapat yang diatas, kita juga dapat mendekati masalah ini dengan sangat sederhana. Kalau ustadz tersebut menyebutkan bahwa non-Islam tidak akan masuk sorga, maka ada kejanggalan logika. Coba dipikir sebanyak 6 miliar manusia di planet ini, hanya 1,5 miliar penganut Islam yang akan masuk surga, sisanya diciptakan untuk “disiksa” di neraka, dimanakah logika Keadilan sang Pencipta Yang Maha Adil?

Komentar akhir dari saya berkenaan dengan sorga: “Apakah sorga dan neraka itu penting sekali…..? Apapun yang Dia berikan kepada kita, bukankah tunduk dan cinta pada-Nya jauh lebih penting?”

Teringat puisi seorang sufi Rabi’ah al-Adawiyah:

Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka...
bukan pula karena mengharap masuk surga ...
Tetapi aku mengabdi, karena cintaku pada-Nya

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu,
demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan
memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
.

Adli Usuluddin
17 Agustus 2011.

Saturday, August 13, 2011

Puasa Ibadah Rahasia.

Ibadah puasa yang telah diwajibkan kepada umat beriman adalah ibadah istimewa. Seperti yang disampaikan dalam sebuah hadist qudsi: “puasa itu untuk Allah dan Allah yang akan membalasnya.” Dengan demikian puasa adalah tuntutan ibadah yang sangat personal dan rahasia antara Allah dan manusia. Puasa dengan kesadaran sufistik adalah tempat atau sarana berasyiq-masyuq manusia dan Allah. Kesadaran penuh akan ke-Maha Esa-an Allah, tiada yang selain Dia, kesadaran yang demikian merupakan esensi dari tauhid.

Kerahasiaan ibadah puasa perlu dicermati oleh orang-orang beriman yang berpuasa. Berbeda dengan ibadah lain yang memerintahkan untuk melakukan sesuatu, ibadah puasa adalah ibadah yang perintahnya melarang melakukan sesuatu. Puasa adalah perintah larangan makan dan minum, larangan melakukan sesuatu yang mebatalkan puasa seperti mengumbar nafsu-nafsu amarah, sex dan lain-lain. Ibadah puasa yang kita laksanakan, hanya diketahui oleh kita dan Allah. Mengingat kerahasiaan dari puasa, jangan sampai ibadah ini menjadi berkurang nilainya atau malah menjadi batal akibat kecerobohan dalam pelaksanaan. Untuk itu beberapa kebiasaan dalam memasuki bulan ramadhan sepertinya perlu dicermati dan dievaluasi.

Kalau diamati menjelang dan selama Ramadhan, kebanyakan kita berbelanja makanan lebih banyak, melebihi kebiasaan yang dikonsumsi sehari-hari. Padahal kebutuhan nutrisi kita dalam 24 jam relatif tetap, karena kita berpuasa makan dan minum hanya pada siang hari. Jadi wajarnya tidak ada kebutuhan makanan yang melebihi kebutuhan seperti yang biasa kita konsumsi sehari-hari. Kita hanya membutuhkan penyesuaian waktu makan atau pemasukan nutrisi yang tadinya pada siang hari menjadi malam. Sikap konsumtif ini perlu dihindari semaksimal mungkin, karena sikap ini juga akan berdampak pada sistim perekonomian. Jika semua umat Islam yang berpuasa tetap menjaga konsumsinya selama Ramadhan, maka permintaan kebutuhan pangan tidak akan mengalami lonjakan sehingga stabilitas harga dapat dipertahankan.

Menjelang masuk bulan Ramadhan biasanya terjadi hiruk pikuk persiapan puasa. Ada kelompok yang mengkampanyekan untuk menghormati bulan puasa. Kampanye menghormati bulan puasa jauh lebih banyak dari pada anjuran untuk berpuasa dengan benar. Padahal orang-orang berimanlah yang diperintahkan berpuasa, dan tidak ada perintah apapun bagi orang-orang yang tidak beriman. Jadi seperangkat aturan tambahan selama bulan puasa yang disodorkan kepada yang tidak berpuasa tidaklah pada tempatnya, cukuplah aturan sosial yang ada untuk mengatur hubungan ini. Tidak perlu juga dalam bulan Ramadhan harus merazia warung makan, bukankah orang berpuasa sudah pasti tidak akan masuk warung makan di siang hari? Orang berimanlah yang seharusnya berkonsentrasi dengan puasa, menahan godaan adalah merupakan bagian dari esensi puasa. Jadi akan jauh lebih baik menganjurkan orang beriman untuk menahan godaan selama menjalankan ibadah puasa, dari pada mengurus orang-orang yang tidak puasa. Bukankah lebih mudah dan efektif mengatur kedalam diri sendiri dari pada mengatur orang lain.

Melaksanakan ibadah sunnah seperti shalat tarawih, tadarus dan lain-lain, sangat dianjurkan dan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari puasa Ramadhan. Pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah ini harus dilakukan dalam porsi ketaqwaan yang dalam, bukan dengan euforia berlebihan. Jangan sampai dalam beribadah sunnah ini kembangnya lebih menonjol daripada khusyuknya. Jangan sampai ibadah terjerumus kedalam riya karena ingin menunjukkan bahwa kita melakukannya. Jangan sampai kita terhijab oleh ibadah kita. Perlu diingat bahwa Allah juga menguji kita dalam ibadah.

Hiruk pikuk Ramadhan terasa jauh sampai ke acara hiburan, terlebih media televisi dengan program serial keagamaan dan hiburan yang bernuansa puasa. Acara-acara ini seyogyanya dapat diisi dengan lebih berbobot, mengingat waktu persiapan yang cukup panjang sebelum puasa. Dengan demikian manfaat media televisi yang sangat ampuh ini dapat memberikan dampak positif selama bulan puasa.

Ramadhan seyogyanya dijadikan sebagai bulan kontemplasi yang dikondisikan oleh suasana puasa, yaitu dengan menahan dan mengendalikan keinginan dan perbuatan tertentu di siang hari. Dalam kondisi ini manusia lebih menyadari kerapuhan diri dan kerapuhan egonya, manusia akan menyadari ke-Agungan Allah, bahwa hanya Allah yang Maha Ada. Kontemplasi dan kesadaran diri ini yang dapat menghantarkan manusia menjumpai lailatul qadr.

“Salaamun hiya hatta mathla’il fajri”- sejahteralah ia sehingga terbit fajar (Al-Quran surah Al-Qadr (97) ayat 5). Lailatul qadr, adalah memasuki kesadaran ilahi, semua menjadi jelas dan merasakan nikmat, seperti kegelapan malam menjadi terang oleh fajar, menyadari yang ada hanyalah Dia Al-Haqq. Lailatul qadr, adalah kondisi dan situasi dimana manusia masuk ke dalam kesadaran tinggi akan ke-Esa-an Allah, manusia yang merasakan akan kesadaran bahwa tiada yang lain kecuali Allah. Kesadaran semuanya adalah Esa.

Puasa, kontemplasi, lailatul qadr adalah sebagian dari hubungan-hubungan rahasia Allah dan manusia.



4 Agustus 2011

Sunday, February 13, 2011

Egois

Hari jumat terakhir bulan ramadhan yang lalu saya shalat jum'at di masjid lingkungan saya. Khatib yang berumur sekitar 40an memberikan khotbah seperti biasanya shalat jum'at. Tidak ada yang aneh, khatib seperti biasa membuka dengan iftitah dilanjutkan syukur dan shalawat.
Inti khutbah adalah mengetengahkan keutamaan bulan ramadhan. Khatib menganjurkan ummat islam agar memperbanyak ibadah shalat, shalat malam, i'tikaf dan lain2 yang berupa ibadah individual. Sama sekali tidak ada yang salah, anjuran khatib sih ok...ok aja. Namun belakangan terpikirkan oleh saya, bahwa beberapa kali shalat jumat yang saya ikuti selama ramadhan ini, khotbah jumat pada hakekatnya mempunyai thema yang sama, keutamaan ramadhan, pahala yang banyak ....dus.....shalat lah yang banyak....berdoalah yang banyak. Keseluruhannya secara tidak langsung memupuk "egoisme ummat", semua untuk keselamatan diri harus diutamakan. ........Ini sekali lagi tidak salah..... Hanya kapan khatib akan menganjurkan secara seimbang, disamping ibadah demi "keselamatan diri" , juga mengkhotbahkan kepentingan umum, seberapa jauh kita bermanfaat bagi orang lain.

Kemudian saat Iedul fitri beberapa hari yang lalu.......saya dan keluarga datang bersilaturrahmi ketempat saudara ....kebetulan kami sampai dirumahnya saat dia habis berwudhu mau shalat lohor. Dia dengan enteng bilang,: "sebentar ya....aku shalat dulu". Saya lantas berpikir, berapa detik yang diperlukan untk bersalaman dan saling mengucapkan maaf dalam rangka silaturrahim. Ini memang etika, bukan hukum......tapi bukankah Muhammad diutus membentuk akhlak manusia yang tercermin dalam etika......? ........
Sedemikian egoisnya kah ummat Islam? Hal seperti itu dilakukan dengan normal saja....karena tidak pernah ada usaha berfikir lebih dalam.
Dua contoh diatas bukan maksud mengeneralisir, tapi gejala itu umum terlihat ....dan dianggap wajar....
Tapi saya merasa ada yang tidak wajar...........saya membayangkan Islam seharusnya tidak demikian.................

07/11/2005

Monday, January 24, 2011

Karena DIA

“Saudara-saudara ingatlah nanti waktu kita meninggal, kita akan ditanyai oleh malaikat didalam kubur. Ada enam pertanyaan yaitu: pertama siapa tuhan kamu; kedua siapa nabi kamu; ketiga apa agama kamu; keempat kemana qiblatmu; kelima siapa imammu; dan keenam siapa saudaramu. Sedangkan jawaban yang diharapkam secara berurutan adalah: Allah; Muhammad; Islam; ka’abah; al-Quran; dan kaum muslimin”. Demikian ringkasan khutbah Jum’at hari ini, yang disampaikan khatib di masjid dekat rumah saya. Khutbah itu merupakan tafsiran yang amat dangkal dari hadis Nabi. Memang khatib menjelaskan bahwa kita tidak bisa menghafal jawaban diatas, untuk dapat menjawab pertanyaan itu kelak, kita harus melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.

Seperti biasanya saya selalu “usil” dan “kritis” atas wejangan yang saya dengarkan; termasuk khotbah hari ini meskipun menurut khatib, yang disampaikannya adalah hadis shahih yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Saya tidak mengkritisi hadis maupun pendapat Nabi, yang ingin saya kritisi adalah penafsiran hadis tersebut.

Pertama, yang akan saya kritisi adalah malaikat yang akan menanyakan katanya adalah pembantu Tuhan untuk menanyai hal-hal diatas kepada setiap orang yang meninggal. Apakah Tuhan perlu pembantu untuk “hal kecil” ini pada hal pada hakekatnya sebesar apapun masalah Tuhan tidak membutuhkan bantuan.

Kedua, Tuhan tahu dengan sendirinya apa yang diperbuat manusia, tidak perlu menunggu untuk bertanya sampai seseorang meninggal. Semua sudah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui, dan bagi Tuhan tidak ada peristiwa linier karena Dia tidak terikat dengan ruang dan waktu.

Akhirnya, apakah azab kubur itu nyata? Atau hanya sekadar cara untuk menyuruh manusia jaman dahulu untuk berbuat baik? Sehingga untuk menjalankan perintah dan menjauhkan larangan-Nya, manusia perlu diiming-imingi dengan kemudahan dialam kubur? Perintah berbuat baik akan selalukah dikaitkan dengan imbalan pahala, seperti hidup ini layaknya berdagang, yang mengharapkan keuntungan atas apa yang sudah diinvestasikan?

Sudah saatnya kita meninjau kembali tafsiran-tafsiran dangkal. Kita harus melihat kembali maksud dan tujuan dari hadis Nabi tersebut. Beragama lebih advance adalah tidak mengaitkan imbalan atas perbuatan. Satu-satunya alasan untuk berbuat baik adalah karena Dia, semua hanya untuk cinta kepada Dia, tidak dengan alasan lain-lain. “Kalau aku menyembahmu karena mengharapkan surga Mu, maka campakkanlah aku keneraka” demikian cetusan hati seorang sufi perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah. Tafsiran Kitab Suci dan Sunnah Nabi perlu dikaji sesuai dengan kondisi saat ini. Sesama manusia sudah sibuk dengan internet, sementara hubungannya dengan Tuhan dan malaikat masih memakai modus lama.