Saturday, December 26, 2009

Hanya Karena Dia.

“Saudara-saudara ingatlah nanti waktu kita meninggal, kita akan ditanyai oleh malaikat didalam kubur. Ada enam pertanyaan yaitu: pertama siapa tuhan kamu; kedua siapa nabi kamu; ketiga apa agama kamu; keempat kemana qiblatmu; kelima siapa imammu; dan keenam siapa saudaramu. Sedangkan jawaban yang diharapkan secara berurutan adalah: Allah; Muhammad; Islam; ka’abah; al-Quran; dan kaum muslimin”. Demikian ringkasan khutbah Jum’at hari ini, yang disampaikan khatib di masjid dekat rumah saya. Khutbah itu merupakan tafsiran yang amat dangkal dari hadis Nabi. Memang khatib menjelaskan bahwa kita tidak bisa menghafal jawaban diatas, untuk dapat menjawab pertanyaan itu kelak, kita harus melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.

Seperti biasanya saya selalu “usil” dan “kritis” atas wejangan yang saya dengarkan; termasuk khotbah hari ini meskipun menurut khatib, yang disampaikannya adalah hadis shahih yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Saya tidak mengkritisi hadis maupun pendapat Nabi, yang ingin saya kritisi adalah penafsiran hadis tersebut.

Pertama, yang akan saya kritisi adalah malaikat yang akan menanyakan katanya adalah pembantu Tuhan untuk menanyai hal-hal diatas kepada setiap orang yang meninggal. Apakah Tuhan perlu pembantu untuk “hal kecil” ini pada hal sebesar apapun masalahnya Tuhan tidak membutuhkan bantuan.

Kedua, Tuhan tahu dengan sendirinya apa yang diperbuat manusia, tidak perlu menunggu untuk bertanya sampai siorang meninggal. Semua sudah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui, dan bagi Tuhan tidak ada peristiwa linier karena Dia tidak terikat dengan ruang dan waktu.

Akhirnya, apakah azab kubur itu nyata? Atau hanya sekadar cara untuk menyuruh manusia jaman dahulu untuk berbuat baik? Sehingga untuk menjalankan perintah dan menjauhkan larangan-Nya, manusia perlu diiming-imingi dengan kemudahan dialam kubur? Perintah berbuat baik akan selalukah dikaitkan dengan imbalan pahala, seperti hidup ini layaknya berdagang, yang mengharapkan keuntungan atas apa yang sudah diinvestasikan? Alangkah rendahnya tingkat beragama kita kalau pertanyaan ini masih dijawab dengan “ya”.

Sudah saatnya kita meninjau kembali tafsiran-tafsiran dangkal. Kita harus melihat kembali maksud dan tujuan dari hadis Nabi tersebut. Beragama lebih advance adalah tidak mengaitkan imbalan atas perbuatan. Satu-satunya alasan untuk berbuat baik adalah karena Dia, semua hanya untuk cinta kepada Dia, tidak dengan alasan lain-lain. “Kalau aku menyembahmu karena mengharapkan surga Mu, maka campakkanlah aku keneraka” demikian cetusan hati seorang sufi perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah. Tafsiran Kitab Suci dan Sunnah Nabi perlu dikaji sesuai dengan kondisi saat ini. Manusia sudah sibuk dengan internet, sementara hubungan dengan Tuhan dan malaikat masih memakai modus lama.

Adli Usuluddin
Pamulang, 25 Desember 2009.

Kecerdasan Warganegara dalam Memahami Informasi.

Banyak sekali hingar bingar di negara kita, mulai dari masalah Pemilu, Bibit-Chandra, Prieta, Bank Century, dan terakhir Luna Maya. Bahkan banyak isu lain seperti keadilan bagi pencuri tiga buah cocoa, semangka dan setandan pisang. Semua yang disebutkan diatas hanya sekedar menyebutkan contoh yang menjadi isu nasional. Masalah di atas menimbulkan juga konflik dan perbedaan pendapat yang tajam, tergantung sudut pandang masing-masing. Satu hal yang jelas semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu menyelesaikan masalah dengan tuntas dan memuaskan.

Menyelesaikan masalah dengan tuntas dan memuaskan? Biasanya yang disebut tuntas dan memuaskan adalah yang sejalan dengan pendapat sendiri, yang kadang-kadang akan memunculkan masalah baru yang berbuntut panjang. Setiap orang mempunyai definisi sendiri untuk suatu ketuntasan masalah. Suatu kenyataan adalah bahwa ketuntasan diartikan secara subyektif yang sesuai dengan pendapat yang mengucapkan. Kalau sesuai maka disebut tuntas dan memuaskan, kalau tidak sesuai maka dinilai tidak tuntas.
Pendapat mainstream menunjukkan bahwa isu Bibit-Chandra akan tuntas kalau Bibit-Chandra bebas dari jerat hukum, demikian juga dengan Prieta yang juga harus bebas.

Isu pemidanaan pencuri tiga cocoa, semangka dan setandan pisang juga memberikan warna sendiri. Apalagi kalau dibandingkan dengan koruptor yang tidak terjerat hukum, membuat keadilan masyarakat terluka. Mainstream menginginkan keadilan bukan sekedar penerapan hukum, sehingga diperlukan sensitifitas dan kepiawaian penegak hukum dalam memproses suatu kejadian sebelum menjadi satu perkara di pengadilan.

Terlihat bahwa pendapat mainstream berubah menjadi kebenaran, sehingga tidak memerlukan pengujian lagi. Pendapat mainstream sangat dipengaruhi oleh pemberitaan media yang didukung oleh kecepatan komunikasi. Tidak dapat dipungkiri ini adalah buah demokrasi yaitu kebebasan pers kita yang sangat maju dan sesuai dengan fungsinya. Pers bebas menyampaikan informasi yang juga tanpa disadari menggiring pendapat umum kedalam suatu opini yang dibentuk oleh informasi tersebut. Pendapat umum ini sangat terpengaruh sekali dengan cara mengemas informasi yang disajikan.

Setiap informasi apabila dikemas dengan struktur tertentu sesuai dengan keinginan yang membuat, maka akan dengan cepat berubah menjadi penilaian mainstream. Pendapat dan penilaian yang berbeda untuk setiap isu inipun adalah produk dan kenikmatan demokrasi dimana setiap orang bisa mengemukakan pendapat dengan bebas dan merdeka. Masyarakat umum sebagai konsumen informasi harus dengan bijak dan cerdas dalam menyerap setiap informasi. Sayangnya mayoritas mainstream kita belum cukup cerdas, sehingga dengan mudah akan terpengaruh oleh opini yang belum tentu benar. Diperlukan pembaharuan kurikulum pendidikan yang tepat dan tidak tambal sulam sehingga usaha mencerdaskan rakyat menjadi optimum. Anak didik harus mulai diperkenalkan cara berpikir kritis sejak dini, dan dilatih untuk mengemukakan pendapat dengan jelas. Dasar pendidikan untuk berpikir kritis akan menghasilkan warganegara yang cerdas sehingga dapat memilah informasi yang tepat dan benar.

Pembaharuan pendidikan tidak dapat ditunda lagi, karena demokrasi yang sudah diputuskan untuk diterapkan menuntut kecerdasan warga negara, sehingga hukum dapat diterapkan dengan benar dalam mencari keadilan.

Pendidikan yang tepat adalah persyaratan mutlak untuk mematangkan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi yang taat hukum dan berkeadilan.


Adli Usuluddin
22 Desember 2009

Ayat-ayat Allah

Rasulullah bersabda : “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, yang apabila kalian berpegang teguh kepada dua perkara tersebut maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya : Kitab Allah (Al-Qur`an) dan Sunnahku (Hadits)” (HR. Imam Ahmad dan Baihaqi)

Allah pun dalam Surat An-Nisa` (4) ayat 59 berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada pemangku kekuasaan di antara kalian (ulil amri). Maka Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalilah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Hadits), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”.

Melalui Al-Qur`an dan hadits Nabi itu, Allah memberikan petunjuk dan arahan kepada hamba-Nya untuk menjadikan Al-Qur`an dan Hadits Nabi sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan berbagai masalah, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan. Umat Islam harus segera melakukan gerakan “kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah”. Gerakan ini mestilah ditopang dengan berbagai “persiapan dan alat” yang menjadikan umat Islam dapat memahami Al-Qur`an dan Sunnah Nabi dengan benar. Perjalanan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi melintasi waktu lebih dari 15 abad membuat kedua sumber utama Islam ini harus berhadapan dan ”berdialog” dengan berbagai umat dengan latar belakang keilmuan, letak geografis dan problem kemasyarakatan yang ada.


Ayat Qauliyah dan Kauniyah

Sayangnya banyak sekali umat Islam terjebak pada pemahaman dan berhenti pada disiplin ilmu keislaman saja, sehingga umat Islam –pun terjebak pada pembatasan Al-Qur`an dalam disiplin keilmuan tersebut. Umat Islam lebih menfokuskan perhatiannya pada hasil suatu tafsir dan sering melupakan Al-Qur`an itu sendiri.

Padahal Al-Qur`an sendiri menginformasikan bahwa ilmu Allah begitu luasnya dan bahkan tanpa batas. Allah berfirman :

Surat Luqman 31:27 “Dan seandainya semua pohon yang ada di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta, ditambah kemudian dengan tujuh laut, niscaya tidak akan habis kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Selain itu, yang disebut Ilmu Allah tidaklah hanya meliputi apa yang dikenal sekarang dengan “ilmu keislaman”, tetapi mencakup semua disiplin keilmuan yang ada. Al-Qur`an menginformasikan bahwa ayatullah (tanda-tanda Allah) adalah semua ciptaan atau makhluk-Nya. Ayatullah atau tanda-tanda Allah terbagi menjadi dua bagian. Pertama adalah ayat-ayat Qauliyah berupa firman Tuhan yang terangkum dalam Kitab Suci. Kedua adalah ayat-ayat Kauniyah atau ayat-ayat yang berbentuk semua ciptaan Allah. Bumi dan langit beserta segala isinya merupakan tanda-tanda atau ayat Allah. Siapa pun yang mampu memahami ayat Kauniyah dan Qauliyah maka akan mengenal (ma`rifat) Allah. Banyak ayat Al-Qur`an yang menjelaskan begitu lengkapnya tanda-tanda (ayatullah) yang bisa dipetik manusia pada penciptaan langit dan bumi. Diantaranya adalah :

Surat Yusuf 12:105 Dan berapa banyak tanda-tanda (âyât) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka berpaling daripadanya”.

Surat Yunus 10:6 “Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang dan apa yang diciptakan Allah di langit dan dibumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (âyât) bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Dua macam ayatullah di atas, mendasari manusia dalam memahami ayat-ayat Nya dan mencoba melakukan interpretasi atau tafsir. Maka lahirlah berbagai macam disiplin keilmuan. Hasil intrepretasi terhadap ayat Qauliyah melahirkan empat disiplin keilmuan yaitu: Ilmu Kalam atau Teologi (Ilmu tentang Ketuhanan dan Ilmu Logika); Ilmu Filsafat (ilmu tentang usaha manusia menemukan dan mencapai kebenaran) ; Ilmu Fiqh (Ilmu tentang aturan formal ibadah dan Hukum Islam); dan Ilmu Tasawuf (Ilmu tentang Akhlak dan Spiritualitas). Sementara pemahaman dan interpretasi terhadap ayat Kauniyah melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan (science) dan teknologi. Tetapi yang mesti diingat bahwa kedua-duanya merupakan tanda-tanda Allah (ayatullah). Maka, sesungguhnya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum menjadi tidak relevan secara hakiki, sebab sebenarnya kedua-duanya adalah interpretasi dari ayatullah. Demikian juga penghormatan kita pada ahli kedua keilmuan tersebut juga semestinya sama.


Mengembalikan Al-Qur`an pada makna aslinya

Sering terjadi orang melakukan penenjemahan yang terkadang mereduksi makna sebuah kata kedalam hanya satu pengetian. Akibatnya, membuat Al-Qur`an menjadi kitab yang sempit dan susah dimengerti serta tidak mampu mengungkapkan apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dalam menyampaikan sebuah pesan.

Muhammad Arkoun, Seorang pemikir Aljazair menulis bahwa : ”Al-Qur`an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup didalam interpretasi yang tunggal”.

Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta`wil (tafsir), do`a Rasul untuk Ibnu Abbas ini semoga juga menjadi do’a buat kita yang harus kita amini.

Wallahu a’lam.

Pamulang 12 Desember 2009.

Adli Usuluddin

Beberapa contoh terjemahan yang mereduksi arti suatu kata hanya pada satu pergertian :

  • `Adzaba, sering diartikan dengan siksa. Padahal `adzaba juga mempunyai arti menawarkan sesuatu atau menjadikan sesuatu menjadi tawar, atau juga berarti membuang kotoran. Maka `adzaba dalam arti proses pembuangan kotoran (dosa) dan menawarkan kembali sesuatu yang dahulunya bersih atau suci adalah suatu keniscayaan atau tahapan yang mesti dilalui oleh manusia sebelum ketemu atau bersatu dengan Tuhan yang Maha Suci.
  • Salima atau islam, biasanya diartikan untuk nama sebuah agama, yaitu agama Islam dan dilawankan dengan kata kafir. Padahal arti salima adalah selamat, berserah diri, damai, dan juga kepatuhan atau ketundukkan. Jadi orang disebut ber-islam ketika dia telah berserah diri secara total kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya, dan yang lebih penting orang tersebut akan memberikan rasa damai dan keselamatan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
  • `Alima, diartikan mengetahui. Orang yang mengetahui disebut `âlim, yang jamak atau pluralnya `ulama. Tapi kemudian orang hanya menyebut `ulama kepada orang yang ahli agama, dan tidak memasukkan ahli-ahli di bidang ilmu pengetahuan non agama. Padahal kata `alima berarti mengetahui sesuatu, artinya netral dan tidak khusus ilmu agama. Dari kata ‘alima juga bisa berarti alamat (‘alama). Kata alam semesta berarti alamat atau tanda yang mengantarkan kepada siapa pun yang mampu memahaminya kepada suatu tujuan yaitu Sang Pencipta alam.
  • Jahada, sering diartikan dengan jihad, lebih khusus lagi dengan jihad fisik, misalkan dengan perang atau melakukan bom bunuh diri. Padahal kata jahada berarti bersungguh-sungguh atau memaksimalkan semua potensi yang ada. Oleh sebab itu, karena manusia mempunyai potensi fisik, akal, emosi dan spiritual, maka segala yang dilakukan oleh fisik, akal, emosi dan spiritual manusia dengan sungguh-sungguh juga berarti jihad. Maka seseorang yang melakukan usaha sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa atau untuk mengenal (ma’rifat) kepada-Nya, maka ia telah melakukan jihad spiritual atau sering disebut dengan istilah mujahadah.