Monday, August 17, 2009

Peringatan Hari Kemerdekaan.

Peringatan hari kemerdekaan kita dipuncaki dengan upacara militer penaikan bendera mengenang detik-detik proklamasi di Istana. Upacara sangat didominasi oleh gerakan-gerakan kaku dan seragam, tegas dan well trained sesuai tatakrama militer. Peserta upacara seluruhnya militer dan polisi, berbaris rapi dilapangan. Ada keterlibatan soswa SMA sebagai penggerek bendera, itupun sudah dilatih ibarat militer. Tamu yang diundang yang terdiri dari petinggi Negara, para teladan, korps diplomatik dan VIP lainnya, duduk dibawah tenda yang terlindung dari terik matahari. Sementara rakyat berada diluar garis menonton upacara ini. Tata upacara sejak beberapa puluh tahun terakhir berlangsung sama, standar yang tetap, kaku dan eksklusif sehingga mengesankan sangat membosankan.

Di Amerika Serikat perayaan hari kemerdekaan dilakukan sebagai pesta rakyat, parade, kembang api, atraksi flypass dan lain2. Acara puncak berupa parade, namun dihadiri oleh segala lapisan masyarakat dan diminta yang mau datang agar konfirmasi untuk memudahkan pengaturan. Parade nasional dilaksanakan melalui jalan tertentu di Washington DC.
Singapura juga diawali dengan parade yang diikuti oleh militer dan masyarakat, acara diselenggarakan secara semi militer, dilakukan ditempat yang luas yaitu di stadion nasional. Dilanjutkan kemudian dengan pagelaran attraksi yang melibatkan masyarakat.
Negara2 komunis dan bekas komunis, dan negara berkembang umumnya melakukan upacara militer penuh.

Kembali pada perayaan di Indonesia, gambaran upacara sangat tegas memperlihatkan bahwa negara adalah arena para penyelenggara kekuasaan, rakyat hanya sebagai penonton diluar garis, sama sekali tidak diajak berpartipasi. Kemudian memang ada acara-acara yang merakyat, yang pada umumnya diselenggarakan sendiri oleh rakyat berupa pesta-pesta tradisionil seperti panjat pinang, dan lomba-lomba lucu lainnya.

Alangkah harmonisnya jika penyelenggara negara melaksanakan upacara puncak lebih melibatkan masyarakat luas. Upacara bendera di Istana tidak hanya dihadiri militer sebagai peserta upacara, tapi juga ada wakil masyarakat awam yang dapat dipilih secara acak karena tempat yang terbatas. Prosedur pelaksanaan harus khidmat dan lugas, lebih santai dan merakyat dan tidak perlu terlalu militeristik,. Kemudian bagi masyarakat yang tidak dapat masuk lapangan upacara, disediakan panggung untuk dapat melihat dengan lebih baik. Alangkah indahnya upacara bendera yang disekitarnya ada militer berbaris rapi disatu sisi, dan rakyat yang berdiri melingkar dengan bebas disisi lain, menunjukkan bahwa upacara tidak menjadi total militeristik. Alternatif lain diselenggarakn distadion utama Senayan seperti dulu pernah dilakukan pada zaman Bung Karno dan yang juga dilakukan negara Singapura, Beberapa negara demokrasi melakukan acara yang lebih melibatkan masyarakat dengan arti luas. Acara kembang api, kampanye melihat musium, atraksi udara, konser dan karnaval adalah lebih merakyat.

Diharapkan konsep peringatan puncak hari kemerdekaan yang melibatkan masyarakat, dapat dipikirkan untuk dilakukan dimasa mendatang. Upacara yang lebih bersifat ”kenduri” lebih dekat dengan rakyat, sebagaimana pesta panen sebagai upacara yang mentradisi.

Jakarta 17 Agustus 2009

Friday, August 14, 2009

Khutbah

Saya shalat Jumat di sebuah mesjid besar dan terkenal di Kebayoran Baru tanggal 14 Agustus 2009. Khutbah yang disampaikan oleh salah seorang petinggi negara sangat menyejukkan. Khatib membahas tentang kemerdekaan dan Islam. Islam tidak mengajarkan kekerasan, tidak mengajarkan teror dan semacamnya. Islam adalah agama damai yang memberi Rahmat bagi seluruh alam. Kita harus hindari stigmasasi bahwa teror adalah identik dengan Islam.

Kemudian kaitan khutbah dengan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, adalah suatu rahmat, apalagi proklamasi dilakukan pada tanggal 9 Ramadhan yang merupakan bulan suci umat Islam. Ini bukan sekadar kebetulan, tapi mempunyai hubungan dengan ummat Islam Indonesia yang mayoritas dan negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia. Suatu kemerdekaan tidaklah sekadar kemerdekaan fisik, tapi kemerdekaan segala bidang, baik fisik maupun sosial, budaya, ekonomi, politik, nurani dan etika. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang tidak boleh menghamba kepada apapun selain kepada Allah swt. Kemerdekaan seperti ini masih belum tercapai oleh rakyat Indonesia.

Suatu keseleo lidah yang sangat mengganggu adalah bahwa khatib juga menyampaikan bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 memiliki Undang-Undang Dasar 1945 dengan preambule (mukaddimah) yang sepenuhnya seperti Piagam Jakarta. Barulah sehari kemudian tanggal 18 Agustus 1945 UUD 1945 dirubah dengan menghilangkan kata-kata: ”menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Padahal sesungguhnya pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki Undang-undang Dasar. Jadi tidak pernah Piagam Jakarta menjadi preambule UUD 1945, karena UUD 1945 baru disahkan 18 Agustus 1945 dengan preambule yang telah direvisi dengan menghilangkan 7 kata dari Piagam Jakarta. Mudah-mudahan tidak ada yang salah mengerti dengan keseleo khatib tersebut.