Friday, December 12, 2008

Argumen, Nalar dan Pendidikan.

Anda mungkin pernah mengalami serempetan sewaktu mengendarai kendaraan dijalanan. Apalagi di Jakarta dengan lalu lintas yang padat, serempetan atau bahkan kecelakaan sangat mungkin terjadi. Saya beberapa kali mengalami kendaraan saya diserempet kendaraan lain, dan saya tidak dalam posisi salah. Pada kondisi ini sangat biasa, namun anehnya dan selalu saya mengalami reaksi pengemudi yang menyerempet marah-marah dan malah menuntut ganti rugi atas kerusakan kendaraannya.

Kemudian, coba perhatikan kebiasaan pengemudi dijalan umum, Anda akan menemukan ribuan pelanggaran ketertiban dan peraturan lalu lintas yang baku. Kebiasaan ini dilakukan oleh hampir segala lapisan masyarakat, tidak tergantung tingkat pendidikan mereka. Berhenti ditempat yang dilarang, atau berhenti seenaknya, dilakukan oleh kendaraan umum untuk menunggu atau menaikkan penumpang, sampai bapak-bapak parlente yang berhenti seenaknya membeli sesuatu diwarung yang diperlakukan sebagai warung “drive in”.

Pada contoh yang pertama terjadi pemaksaan kehendak bahwa yang bersalah dengan prinsip menggebrak duluan akan menjadi pemenang. Cara ini terlihat ada kemiskinan dalam kemampuan mencari solusi permasalahan dengan berargumen. Keunggulan manusia adalah memiliki akal pikiran yang dapat berargumen dengan nalar yang baik. Suatu pemaksaan dengan gebrakan memang alat untuk menang, tapi diterapkan dengan salah tanpa argumentasi yang nalar.
Pada contoh kedua yang menjadi issue adalah kesadaran kebersamaan diruang publik yang sangat rendah. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi seakan-akan ditolerir oleh semua pihak, baik dari sesama pemakai ruang publik maupun penegak hukum. Kalau ada pemakai jalan yang protes, biasanya akan dijawab dengan “jalan ini ‘kan milik bersama” atau “memangnya jalan ini punya moyang mu?” atau dengan kata lain “what’s wrong?” padahal sudah jelas “absolutely wrong”. Pelaku pelanggaran merasa tidak ada masalah, atau dengan kata lain kesalahan sudah jamak dan ditolerir. Kondisi ini hanya bermasalah bagi orang yang sadar dengan fungsi ruang publik dan cara bersikap didalamnya.

Dua contoh diatas adalah sebagian kecil dari perilaku masyarakat Indonesia berlalu lintas dijalan umum. Kalau dilakukan survey akan terdapat sederet panjang pelanggaran. Memang sikap berlalu lintas disatu negeri menunjukkan tingkat keberadaban bangsa yang tinggal dinegeri tersebut.

Satu contoh lagi, pada tahun 2007 yang lalu, saya membaca berita bahwa organisasi pengemudi angkutan umum di Bekasi melakukan mogok dan menyetop kendaraan angkutan perusahaan/pabrik. Mereka protes akan keberadaan angkutan perusahaan tersebut yang dianggap sebagai penyebab mereka kekurangan penumpang dan menurunnya pendapatan mereka.
Disini terlihat kembali kemiskinan dari argumen yang nalar telah sampai ketingkat komunitas atau organisasi. Argumen apa yang mendukung tindakan penyetopan angkutan perusahaan ini? Kalau sekiranya argument mereka dibenarkan bahwa penumpang angkutan umum berkurang dengan adanya kendaraan antar jemput perusahaan, maka secara logis semua kendaraan adalah competitor dari angkutan umum, dus apa semua kendaraan harus tidak beroperasi, sehingga semua orang naik angkutan umum?
Memang kebijakan publik pemerintah juga punya andil dalam masalah ini, namun sikap pengemudi angkutan umum adalah cerminan dari kemiskinan yang mendasar dari argumen yang nalar.

Contoh-contoh diatas hanya salah satu segi kehidupan yaitu berlalu lintas. Banyak segi kehidupan lain yang belum teramati, seperti pelanggaran kaki lima, perumahan liar dan sebagainya. Sengaja dipilih segi lalulintas karena lalulintas adalah perilaku masyarakat yang rutin setiap hari, yang berarti mencerminkan sikap dasar masyarakat dalam menghadapi masalah. Sikap-sikap dasar ini yang perlu diperhatikan dan mendapat perhatian serius untuk merubah perilaku bangsa menjadi lebih baik. Walaupun masalah yang timbul juga diakibatkan oleh salah urus pengelolaan oleh pemerintah, namun kalau sikap dasar masyarakat yang baik dan dapat berargumen dengan nalar, maka pasti akan dapat merubah pola salah urus tersebut.

Untuk mengatasi masalah ini tidak cukup hanya dengan law enforcement. Tapi harus lebih mendasar yaitu melalui pendidikan. Terutama pendidikan dasar yang sangat berpengaruh pada kebiasaan seseorang. Kebiasaan atau habit, adalah kunci untuk mendapatkan masyarakat yang berdisiplin dan berpikir argumentatif.
Dari jenjang pendidikan dasar, harus diterapkan pendidikan rasa melalui etika serta pendidikan yang memperkenalkan proses. Etika akan mempekenalkan rambu kehidupan, dan membentuk pribadi yang jujur, seterusnya akan membentuk kebiasaan yang menjadi habit dan akhirnya membentuk moral seseorang. Sementara pengenalan atas proses adalah menumbuhkan pengertian atas alur yang mengajarkan bahwa sesuatu terjadi melalui proses yang teratur, tidak bisa dengan extract atau crash program.

Kalau saja ada yang memperhatikan masalah ini dengan serius sudah barang tentu dapat dibuat program untuk memperbaiki dan kalau program dilaksanakan maka akan ada kemajuan kearah perbaikan. Karena untuk merubah bangsa ini memang butuh waktu dan proses, jadi harus dimulai dari sekarang, dengan membenahi pendidikan secara radikal.

Tuesday, September 16, 2008

What Went Wrong with Us

Sari berita : Minggu 14 September 2008, enam orang anak meninggal akibat tawuran remaja ABG di Pamulang, Tangerang. Senin, 15 September 2008, ribuan orang berdesak-desakan menunggu pembagian zakat di Pasuruan, 21 orang meninggal karena terdesak dan terhimpit. Pada hari Senin yang sama, perkelahian antar fakultas masalah perebutan penguasaan halte di salah satu universitas Ternate dan terlihat dalam tayangan televisi bak perang antar suku jaman dulu. Masih hari yang sama, supporter PSM Makassar mengamuk karena kesebelasannya kalah bertanding dengan Persela Lamongan. Sebelumnya, beberapa pendukung calon kepala daerah yang kalah dalam Pilkada mengamuk atau sang calon mengggugat ke pengadilan, yang pada prinsipnya tidak mau kalah walaupun kenyataan dilapangan sudah jelas kalah. Kemudian tidak dapat dikesampingkan kerumunan orang berhimpit-himpitan dikantor-kantor pos untuk menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), sampai ada yang pingsan.
Kita berduka untuk itu semua.

Namun apa yang dapat kita baca dari cuplikan berita media diatas?

Ada dua hal terindikasi dari peristiwa-peristiwa tersebut, yaitu masalah: Pendidikan, kemiskinan, kepedulian dan etika. Perkelahian remaja di Pamulang dan mahasiswa di Ternate adalah buah dari pendidikan dasar kita yang kacau dan tidak terprogram dengan baik. Sekolah dibebani dengan kurikulum yang padat dan tidak jelas tujuannya, sementara pendidikan etika dan budi pekerti sama sekali terabaikan. Lihat saja kurikulum dasar di SD, berapa banyak pelajaran yang sia-sia dan saling tumpang tindih.
Anak didik sekolah dasar dijejali dengan pengetahuan cognitif yang sangat banyak, sementara alat untuk menyerap pengetahuan tersebut tidak pernah diajarkan. Dua alat utama untuk menyerap ilmu sama sekali dilupakan, yaitu logika, dan rasa. Alat logika membuat kita dapat menerima pengetahuan cognitif dan melakukan kalkulasi, perencanaan, mencipta teknologi, serta menciptakan tool lain yang dibutuhkan dalam hidup. Alat logika biasanya diajarkan melalui matematika. Alat rasa, adalah alat yang mebangun moral, biasanya diajarkan melalui pelajaran etika, budi pekerti dan kesenian. Sekarang ada pelajaran agama, tapi terjebak dengan pengetahuan cognitif agama, bukan dasar-dasar etika dan moral. Diatas semua itu yang menjadi alat bagi keduanya adalah bahasa, semua pelajaran dan ilmu harus dikomunikasikan dengan bahasa. Jadi tiga hal penting untuk pendidikan dasar dan sekarang harus dibenahi adalah pelajaran Bahasa, Matematika dan Etika. Apa yang didapat anak didik kita di sekolah dasar memang sudah mencakup ketiga hal tersebut, tapi anak didik diajarkan matematika, diajarkan bahasa, diajarkan agama, semuanya ditingkat cognitif belaka, tidak pernah menyentuh konsep. Belum lagi tambahan beban mata pelajaran lain yang jumlahnya dua atau tiga kali lipat.

Peristiwa Pasuruan dan BLT, disamping cerminan dari hasil pendidikan yang tidak effektif, yang menonjol adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi kemiskinan struktural. Masyarakat yang miskin karena tidak mempunyai penghasilan tetap. Sudah barang tentu ini adalah akibat dari salah urus sistim perekonomian kita, dimana Indonesia sebagai negara yang kaya sumberdaya alam tapi memiliki banyak rakyat miskin yang bahkan miskin turun temurun. Sebenarnya masyarakat miskin ini berada didalam suatu negara yang terdiri dari kelompok orang yang disebut sebagai bangsa yang sangat religious. Agama apapun mengajarkan untuk memerangi kemiskinan. Bahkan Islam memberikan solusi yang sangat komprehensif dalam kewajiban berzakat. Sementara Islam sebagai agama mayoritas, sudah seharusnya mempunyai tanggung jawab yang paling besar dalam menaggulangi kemiskinan. Namun Islam Indonesia tidak menemukan cara yang ampuh untuk mengemban tanggung jawab ini, sehingga kemiskinan tetap tidak berkurang.

Dalam peristiwa Pasuruan, orang kaya yang memberi zakat tidak cukup memiliki logika dan rasa sehingga tidak dapat mengontrol akibat yang akan timbul, walaupun peristiwa seperti kejadian senin kemaren berulang setiap tahun diberbagai tempat. Tidak ada bedanya dengan pemerintah yang mengucurkan BLT, tidak dapat mengontrol dan memanage dengan baik.
Sementara itu bagi penerima zakat maupun BLT pun tidak memahami etika dan moral kebersamaan, tidak mau antri, ingin menang sendiri, sehingga desakan massa tak terhindarkan. Inilah buah dari pendidikan kita, memang sakit tapi kita harus berubah.

Peristiwa Pilkada, adalah cerminan ketidak tulusan dalam menerima kenyataan. Kalah dan menang dalam suatu pemilihan adalah suatu yang niscaya. Ketulusan dalam menerima kekalahan adalah salah satu dasar dari demokrasi. Demokrasi kita sepertinya masih sekedar menyetujui adanya proses pemilihan terbuka, namun yang menang harus aku. Untuk mendapatkan ketulusan hanya melalui pendidikan. Sementara pendidikan atas rasa kita samasekali tidak punya perasaan. Demikian juga dengan peristiwa sepakbola Makassar, dan peristiwa-peristiwa serupa dalam pertandingan sepakbola diseantero tanah air, tidak tulus menerima kekalahan, hanya tulus kalau menang.

Saya bertanya dalam hati: What went wrong with us ?

Sebagai catatan akhir, perlu diwaspadai pembagian zakat fitrah ummat Islam waktu lebaran dan pembagian daging qurban pada Iedul Adha, yang segera akan menjelang.
(published at Koran Tempo, Sept. 23, 2008)

Monday, September 08, 2008

Pemilihan Umum.

Wah kok judulnya Pemilihan Umum ya, rasanya seperti kata asing karena sekarang sudah berubah jadi akronim Pemilu. ….
OK ngomong-ngomong soal pemilu ada beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan dalam benak saya.

Sebagaimana diketahui bahwa Pemilu adalah bagian dari proses penyelenggaraan Negara yang dilakukan secara periodik. Sekarang KPU sedang sibuk mempersiapkan Pemilu 2009, saya ketahui dari media massa bahwa tahap pendaftaran pemilih sudah hampir selesai, dan hari ini sebagai hari terakhir bagi calon pemilih untuk mencek ke kelurahan apakah namanya sudah terdaftar. Seperti biasa, dari pemilu ke pemilu cara ini tidak effektif, karena tetap saja protes tentang daftar pemilih akan timbul pada saat hari H pemilu. Pertanyaan yang timbul dalam benak saya adalah: Kenapa KPU tidak mengandalkan data KTP saja sebagai tanda terdaftar pemilih, kenapa harus ada pendaftaran pemilih, bukankah data KTP adalah data yang paling basic dan lengkap? Apakah tidak sebaiknya pemilih cukup dengan menunjukkan KTP, sehingga sekian miliar rupiah bisa dihemat hanya untuk pendaftaran pemilih yang tetap saja akan bermasalah. Apakah data KTP tidak dapat dipercaya?

Kemudian ada issue lain yang kurang dapat saya pahami. Beberapa waktu yang lalu KPU melakukan MOU dengan Kepolisian Negara RI, yang mana Polri sepakat untuk mengamankan Pemilu. Saya heran kenapa harus ada kesepakatan seperti itu dibuat formalitasnya? Bukankah tugas Polisi mengamankan tertib sipil di republik ini, apalagi pengamanan Pemilu adalah hajatan resmi pemerintah, jadi cukup pemberitahuan dari KPU ke Polri apa saja program kegiatannya.

Mungkin ada pakar yang dapat menjelaskan hal ini, dan sebagai catatan: Kalau sekiranya UU Pemilu yang mengamanatkan hal-hal diatas, maka saya kira untuk kedepan UU Pemilu perlu direvisi, agar penyelenggaraan pemilu kita lebih sederhana.

Monday, September 01, 2008

Puasa Tanpa Pamrih

Ramadhan datang silih berganti setiap tahun. Bulan yang dinantikan oleh ummat Islam. Bulan dimana diwajibkan untuk melakukan puasa, menahan lapar dan haus serta menahan amalan lain yang biasanya boleh dilakukan pada siang hari.

Kita, ummat yang sejak dilahirkan sudah menjadi Islam mungkin mengalami proses yang sama ketika akan memasuki bulan puasa. Semasa kanak-kanak disuruh orang tua berpuasa dengan iming-iming materi sampai surga dan neraka. Kita akan berpuasa meskipun menjadi beban karena harus menahan lapar dan haus. Puasa dirasakan sebagai penghalang untuk bersekolah maupun bermain. Namun kita tetap berpuasa karena takut sama orang tua dan juga takut masuk neraka. Kita berpuasa karena ingin masuk sorga.

Kemudian beranjak dewasa, mulai dirasakan sebagai suatu keharusan karena diwajibkan secara syar’i. Kewajiban adalah sesuatu yang mau tak mau harus dita’ati secara sukarela, walaupun kadang-kadang dalam hati kecil sebenarnya ada ketidak nyamanan. Masa dewasa kita punya justifikasi yang lebih canggih, bahwa puasa baik untuk kesehatan, puasa meningkatkan itensitas ibadah sehingga dapat mengumpulkan pahala. Tanpa disadari kesemua alasan ini adalah alasan yang menunjuk pada diri sendiri, alasan untuk kepentingan pribadi, singkatnya untuk memuaskan ego. Jadilah kita tetap berpuasa, karena takut dengan ancaman masuk neraka. Kita berpuasa karena ingin masuk sorga.

Jadi puasa dewasa dan kanak-kanak sama saja, puasa dengan pamrih tidak mau masuk neraka, dan ingin masuk sorga.

Konsep hidup dalam Islam adalah "innalillahi wa inna ilaihi raji’un", sesungguhnya dari Nya (yang Haqq) dan kepada Nya akan kembali. Jelas konsep dasar Islam adalah kembali kepada al-Haqq. Karena tujuannya adalah al-Haqq maka orientasi utama pun adalah al-Haqq.

Agama adalah jalan menuju al-Haqq, sedangkan pamrih (e.g. sorga dan neraka) adalah iming-iming, seyogyanya semakin dewasa cara beragama semakin luruh iming-iming tersebut dan semakin jelas keinginan menyatu dengan al-Haqq, sehingga “aku” tidak lagi exist yang ada hanya Dia.

Allah memerintahkan orang-orang beriman berpuasa dibulan ramadhan agar manusia bertaqwa “la’allakum tattaqun”. Taqwa tidak lain menjadikan diri fana dan tunduk kepada al-Haqq. Tuhan menjanjikan dalam hadis qudsi yang intinya mengatakan semua ibadah adalah untuk manusia kecuali puasa adalah untuk Ku. Jadi berpuasa hendaknya dilakukan dengan ikhlas, hanya untuk Allah semata.

Berbeda dengan ibadah-ibadah seperti shalat dimana kita harus melakukan gerakan dan bacaan, atau zakat yang harus melakukan sesuatu untuk memberikan harta; haji harus melakukan tawaf dan sa’i; tapi puasa sebenarnya ibadah untuk tidak melakukan apa-apa, dilarang makan minum dan beberapa amalan lainnya. Hakekat puasa adalah kita menuju al-Haqq. Kalau berpuasa mengharap surga, atau menghindarkan neraka, artinya kita mementingkan diri sendiri, memuaskan ego, memuaskan ke-aku-an untuk hidup nikmat. Padahal “ilaihi raji’un” mengandung pesan bahwa hanya Dia sang al-Haqq lah yang dituju, hanya Dia yang menjadi tujuan satu-satu nya.

Puasa sebagai perintah syar’i harus dilakukan sebagai tanda keta’atan. Ta’at saja tidaklah cukup, karena sekadar ta’at hanya sekedar kepatuhan. Kepatuhan tidak cukup menunjukkan ketundukan sebagai ciri taqwa. Ketundukan adalah makna hakiki dari Islam. Kalau ta’at dan patuh saja ibarat ta’at dan patuh kepada majikan tapi tidak tunduk dan lebur dengan majikan. Untuk itu berpuasa harus disikapi dengan kepatuhan dan tunduk tanpa pamrih, ketundukan sampai ke-aku-an atau ego hilang dan lebur didepan Nya, hanya Dia yang ada, aku menjadi fana.

Marilah kita berusaha berpuasa tanpa pamrih, berusaha melebur ke-aku-an (ego) karena keakuan atau ego menumbuhkan kesombongan. Banyak fatwa yang menasehatkan agar kita menghilangkan kesombongan, pada hal tidak hanya kesombongan yang harus dihilangkan karena hilangnya kesombongan tetap saja masih menyisakan subyeknya yaitu ke-aku-an (ego). Ke-aku-an/ ego yang merupakan subyek kesombonganlah yang harus fana.

Wallahu a’lam.

Sunday, August 17, 2008

Assalamualaikum

Seorang anggota panitia tujuh belasan akan berbicara didepan peserta peringatan tujuhbelasan di RW saya. Acara diselenggarakan dengan sederhana, tapi cukup mengesankan dan sangat berarti dalam memupuk kebersamaan. Kebersamaan inilah yang membuat ketahanan warga jadi solid dalam menghadapi persoalan sosial.
Kembali kepada panitia yang akan berpidato. Sang panitia memulai pidatonya dengan mengucapkan salam: "Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu", kemudian terdengar beberapa orang menjawab salam tersebut dengan "wassalamualaikum". Sang pembicara mengulangi salamnya sampai dua kali karena dia mengharapkan jawaban yang lantang dari hadirin. Kelihatan hal ini biasa, karena sering dilakukan oleh uztadz dalam pengajian-pengajian. Harapan pembicara untuk jawaban yang lantang adalah alasan yang utama.
Kalau kita lihat perilaku pembicara ini sudah termasuk pemaksaan, betapapun halus dan apapun alasannya. Menjawab salam adalah kewajiban yang disalami bukan kewajiban yang memberi salam. Apabila yang disalami tidak menjawab, biarlah itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan, tidak perlu "dipaksa" secara halus dengan mengulang salam sampai beberapa kali.
Baik yang memberi salam maupun yang disalami sudah tahu kewajiban masing-masing, biarlah masing-masing menjalankan kewajibannya tanpa dipaksa. Pemaksaan secara halus akan menjadi bibit pemaksaan berikutnya yang lebih menekan, yang pada gilirannya akan menjadi habit yang sulit dihilangkan.

Friday, June 20, 2008

Sekitar Pro-kontra Ahmadiyah

Agama adalah suatu cara/way-of-life/petunjuk/penuntun umat manusia yang disampaikan melalui nabi/rasul/orang-yang-diberi-petunjuk. Sejatinya manusia diselubungi oleh (encompassed by) agama, dengan demikian agama bukanlah suatu teritory atau kawasan, sehingga manusia tidak bisa memiliki agama.

Kenyataan sekarang banyak orang yang merasa memiliki agama sehingga faktor yang melekat atas kepemilikan/teritory akan menjadi issue, seperti ketersinggungan, penghinaan, pelecehan, penyerangan, pembelaan, dll. Faktor ini hanya mungkin terjadi terhadap manusia sebagai pemeluk agama, bukan terhadap agama sendiri, dan ukurannya jelas ukuran-ukuran sosial manusia.

Surat Keputusan Bersama

Senin, 9 Juni 2008, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (SKB) tentang Ahmadiyah telah diluncurkan Pemerintah. Inti dari SKB adalah seperti termuat dalam diktum kesatu dan kedua. Diktum Kesatu : “ Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” dan diktum Kedua : “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” (kutipan dari website Dep. Agama RI)

Diktum Kesatu sangat mengerikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak saja akan memberangus pemikiran Islam, tapi juga agama lain. Menyimpang dari pokok-pokok ajaran akan sangat tergantung pada siapa yang menilai (atau yang berkuasa), dapat saja ijtihad dianggap sebagai menyimpang dari pokok-pokok ajaran, atau perbedaan penafsiran yang selama ini banyak dan lumrah terjadi akan menjadi masalah. Diktum ini akan menjadi aturan yang dapat ditafsirkan secara semaunya, yang dapat dipergunakan oleh satu golongan untuk menghujat golongan yang tidak se aliran. Bagi kalangan Islam bahkan akan menutup pintu ijtihad dan pikiran-pikiran pembaharuan.

Karena SKB berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia tidak hanya untuk umat Islam, jika diterapkan pada agama lain seperti Kristen, Budha dan Hindu. Sebagaimana dalam agama Kristen misalnya kita ketahui terdapat sekte yang pokok-pokok ajaran-nya sangat berbeda satu sama lain, dan ajaran yang mana yang akan dianggap rujukan pokok-pokok ajaran. Masalah berikut adalah siapa yang berhak menentukan keabsahan pokok-pokok ajaran yang dimaksud, apakah pemerintah atau badan apa?

Tujuan untuk meredam Ahmadiyah akhirnya akan merembet kepada yang lain-lain, akibat dari diktum kesatu ini, dan memberi peluang konflik horisontal selanjutnya.

Diktum Kedua khusus bagi jemaah Ahmadiyah, agak lebih “ringan” karena yang dilarang hanya melakukan penyebaran penafsiran tentang adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, kalau meyakininya sih boleh-boleh saja asal jangan disebarkan. Namun demikian ini sangat membatasi hak warganegara yang dilindungi oleh konstitusi, seperti misalnya, orang tua tidak dapat medidik anak-anak sesuai dengan keyakinannya karena akan dituduh menyebarkan penafsiran.

Satu hal yang luput diatur SKB ini adalah bagaimana aturannya kalau terjadi pemaksaan untuk menganut satu penafsiran. Bukankah ketentuan untuk menetapkan pokok-pokok ajaran adalah salah satu bentuk pemaksaan untuk menganut suatu penafsiran. Ini yang akan tetap menimbulkan masalah.

Islam

Kalau kita membaca al-Quran, didalamnya terdapat pengertian bahwa muslim adalah orang-orang yang termasuk kedalam salah satu kriteria "yang menyerahkan diri secara total kepada Yang Maha Mutlak". Dengan demikian sejak dari Adam, Nuh, Musa, Isa dll. disebut sebagai muslim. Adapun kemudian ummat Muhammad melembagakan diri menjadi satu agama yang organized yang disebut Islam. Konsekwensi dari organized religion adalah menjadi suatu obyek kepemilikan, yang selanjutnya akan "mempersempit" kriteria Muslim. Dan akan muncul Issue “muslim yang mana”, apakah yang merujuk pada al-Quran atau yang mutawattir sebagai muslim yang kita kenal saat ini? Dari issue ini akan terjadi perbedaan dalam penafsiran. Seyogyanyalah kemudian issue ini menjadikan Islam sebagai agama yang toleran atas semua perbedaan penafsiran.

Perbedaan penafsiran tidak dapat dihakimi sepanjang dia tidak mengganggu penganut penafsiran lain. Penganut pebafsiran lain yang dimaksud adalah subyeknya yaitu manusia, sehingga ukuran yang dipakai adalah ukuran hubungan antar manusia. Pengaturan inilah yang dapat dicampuri oleh Negara.

Kalau Ahmadiyah dianggap sesat oleh orang Islam, cukup dianggap sesat oleh orang Islam saja, dan biarkanlah mereka dengan kesesatannya, negara tidak perlu direpotkan. Kalau Ahmadiyah dianggap mengganggu aqidah adalah tidak masuk akal. Persoalan Aqidah adalah persoalan keyakinan masing-masing individu, tidak akan ada Aqidah seseorang yang akan ternoda akibat perbuatan orang lain, kecuali dia menodai sendiri. Jangan sampai kita mencari alasan diluar diri untuk hal-hal yang memang harus kita jaga sendiri. Persoalan perbedaan penilaian jangan menjadikan ummat terkotak-kotak dalam kubu kita dan kalian yang saling berhadapan laiknya musuh. Kita jangan sampai terjebak kedalam persaingan yang menuju kepada zero sum dimana kita harus menang mutlak dan kalian (musuh) harus lenyap, ibarat dalam pertandingan tinju tidak perlu menang KO. Iblis saja yang jelas-jelas jadi musuh besar dibiarkan hidup.

Kenapa kita tidak mencari kesamaan yang membuat rukun kehidupan, lakukanlah hal yang berguna bagi kehidupan dan kemanusiaan tanpa embel-embel dan predikat Islam menurut A atau Islam menurut B. (Bukankah berguna bagi lingkungan dan kemanusiaan adalah manifestasi rahmatan li al-'alamin?). Predikat akan menjurus kepada egoisme yang menjauhkan kita dari Yang Maha Mutlak. Islam menganjurkan agar mecari “kalimatun sawa” yang dapat menyatukan manusia untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan.

Penutup.

Pikiran logis secara otomatis “membaca” bahwa SKB diterbitkan dalam rangka usaha Pemerintah untuk meredam kekisruhan tentang Ahmadiyah yang mulai merepotkan. Terlihat bahwa tekanan dari pihak yang pro pembubaran Ahmadiyah telah memaksa pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan mereka, sementara itu pemerintah juga harus mengakomodasi pihak yang anti pembubaran Ahmadiyah. Dan hasilnya adalah SKB dengan klausul yang sulit diterapkan dalam tataran praktis. Bahkan kekisruhan yang mau dihindari tetap ada seperti yang terlihat dalam tiga minggu setelah SKB diterbitkan.

Alasan pihak-pihak yang menginginkan Ahmadiyah dibubarkan adalah persoalan penodaan yang diatur dalam UU No 1/PNPS/1965. Kelihatannya UU ini yang perlu diuji, karena secara logika bagaimanapun negara tidak bisa mengatur keyakinan. Negara hanya perlu mengatur perilaku warga agar tidak mengganggu, patokan dasar pengaturan adalah : kebebasan satu pihak dibatasi oleh kebebasan pihak lain.

Tidak ada yang mutlak didunia ini, kecuali Dia Yang Maha Mutlak.

Jakarta, 20 Juni 2008

Tuesday, June 10, 2008

SKB Ahmadiyah

Senin, 9 Juni 2008, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (SKB) tentang Ahmadiyah telah diluncurkan Pemerintah. Pikiran logis secara otomatis “membaca” bahwa SKB diterbitkan dalam rangka usaha Pemerintah untuk meredam kekisruhan tentang Ahmadiyah yang mulai merepotkan. Terlihat bahwa tekanan dari pihak yang pro pembubaran Ahmadiyah telah memaksa pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan mereka, sementara itu pemerintah juga harus mengakomodasi pihak yang anti pembubaran Ahmadiyah. Dan hasilnya adalah SKB dengan klausul yang sulit diterapkan dalam tataran praktis.

Inti dari SKB adalah seperti termuat dalam diktum kesatu dan kedua. Diktum Kesatu : “ Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” dan diktum Kedua : “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” (kutipan dari website Dep. Agama RI)

Diktum Kesatu sangat mengerikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak saja akan memberangus pemikiran Islam, tapi juga agama lain. Menyimpang dari pokok-pokok ajaran akan sangat tergantung pada siapa yang menilai (atau yang berkuasa), dapat saja ijtihad dianggap sebagai menyimpang dari pokok-pokok ajaran, atau perbedaan penafsiran yang selama ini banyak dan lumrah terjadi akan menjadi masalah. Diktum ini akan menjadi aturan yang dapat ditafsirkan secara semaunya, yang dapat dipergunakan oleh satu golongan untuk menghujat golongan yang tidak se aliran. Bagi kalangan Islam bahkan akan menutup pintu ijtihad, selain membuat Ahmadiyah tetap menjadi sasaran tembak.

Karena SKB berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia tidak hanya untuk umat Islam, maka akan lebih runyam lagi jika akan diterapkan pada agama lain seperti Kristen, Budha dan Hindu. Sebagaimana kita ketahui dalam agama Kristen misalnya terdapat sekte yang pokok-pokok ajaran-nya sangat berbeda satu sama lain dan yang mana yang akan dianggap sebagai rujukan pokok-pokok ajaran. Masalah kedua adalah siapa yang berhak menentukan keabsahan pokok-pokok ajaran yang dimaksud, apakah pemerintah atau badan apa? Ada lagi pertanyaan, kalau ada kejadian penafsiran tersebut, apakah wartawan boleh memberitakan?

Tujuan untuk meredam Ahmadiyah akhirnya akan merembet kepada yang lain-lain, akibat dari diktum kesatu ini, dan memberi peluang konflik horisontal selanjutnya.

Diktum Kedua khusus bagi jemaah Ahmadiyah, agak lebih “ringan” karena yang dilarang hanya melakukan penyebaran penafsiran tentang adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, kalau meyakininya sih boleh-boleh aja asal jangan disebarkan. Namun demikian ini sangat membatasi hak warganegara yang dilindungi oleh konstitusi, seperti misalnya, orang tua tidak dapat medidik anak-anak sesuai dengan keyakinannya karena akan dituduh menyebarkan penafsiran.

Menurut hemat saya perbedaan keyakinan ini tidak perlu di”hakimi” oleh pemerintah, kalau Ahmadiyah dianggap sesat oleh orang Islam, cukup dianggap sesat oleh orang Islam saja, dan biarkanlah mereka dengan kesesatannya. Persoalan Aqidah adalah persoalan keyakinan masing-masing individu, tidak akan ada Aqidah seseorang yang akan ternoda akibat perbuatan orang lain, kecuali dia menodai sendiri.

Wallahu a’lam

Friday, May 16, 2008

Target atau Jalan

Hari ini Jumat 16 May 2008.

Seperti biasa saya shalat Jumat dekat kantor di jantung kota Jakarta dan kembali saya tergelitik untuk mengomentari khutbah yang disampaikan khatib.

Intisari khutbah adalah tentang perjuangan para sahabat dalam menegakkan syiar Islam dizaman Rasulullah masih hidup. Kisah nya disampaikan dengan sangat menyentuh, kisah dan pengorbanan yang patut diteladani. Namun diakhir khutbah, khatib bertanya kepada jamaah: “Apakah yang telah kita berikan kepada Islam?”.

Pertanyaan ini membuat saya berpikir, apakah betul kita harus memberikan sesuatu kepada Islam, bukankah konsep dasar nya : Islam sebagai agama adalah jalan atau petunjuk bagi kehidupan, jalan untuk mencapai target? Konsep ini seharusnya melahirkan pertanyaan: "Apakah yang telah diberikan Islam kepada kita?"

Kalau kita dituntut untuk memberikan sesuatu kepada Islam, berarti Islam adalah target bukan lagi jalan menuju target. Bagi saya, target adalah Dia Yang Maha Mutlak, bukan jalan menuju kesana.

Wallahu a’lam

Thursday, January 17, 2008

Anarkhis

Kediri, Rabu sore 16 Januari 2008. Pertandingan sepakbola 8 besar Liga Djarum antara Arema dan Persiwa berakhir ricuh. Kericuhan dimulai oleh supporter yang dikenal dengan Aremania, dan dipicu oleh keputusan wasit menganulir gol-gol Arema. Kericuhan yang anarkhis dapat dibaca di koran dan dilihat di siaran televisi.

Kenapa harus anarkhis? Padahal pertandingan sepakbola ada aturannya, termasuk aturan untuk wasit jika salah dalam mengambil keputusan. Anarkhisme tidak hanya terjadi dalam sepakbola, anarkhis terlihat disegala segi kehidupan bangsa ini. Mulai dari hal kecil, senggolan lalulintas, sampai pilkada atau apapun yang pada dasarnya bentuk pemaksaan kehendak. Anarkhis juga merasuk ke dalam agama dan perbedaan keyakinan. Untuk hal semua ini pun sudah ada aturannya yang dikukuhkan dalam undang-undang. Kesalahan seseorang tidak memberi legitimasi apa-apa pada kita untuk menghakimi apalagi menghukum dan bertindak anarkhis.

Kenapa jadi anarkhis? Apakah bangsa ini sudah sedemikian kerdilnya, seperti anak kecil yang marah kalau terusik? Apakah karena tidak punya nurani menjadi anarkhis? Apakah karena ingin melanggar aturan menjadi anarkhis? Atau apakah karena tidak menggunakan pikiran jadi anarkhis? Dari kesemua penyebab ini, kelihatannya bangsa ini lebih pada kondisi yang terakhir. Bangsa ini "lupa" berpikir sebelum bertindak. Bangsa ini dari kecil tidak diajak menggunakan pikiran jernih yang penuh etika. Lebih mendasar dan yang paling parah adalah bangsa ini sejak kecil tidak dididik untuk berargumentasi, sehingga setiap masalah diselesaikan dengan otot bukan dengan otak.

Jangan sampai kita sengaja di "isengi" oleh bangsa lain untuk memancing kemarahan kita, yang kemudian mereka tertawa dibalik itu. Seperti hal nya kita diusik masalah reog ponorogo yang membangkitkan ketersinggungan luar biasa sampai demo ke kedutaan Malaysia. Alangkah indahnya jika dari kecil anak-anak mulai dididik untuk berargumentasi, sehingga lebih mendahulukan otak dan kalau marah pun akan marah secara proposional.

Saturday, January 05, 2008

Kewajiban dan Hak

Manusia telah diutus oleh Sang Khalik untuk bertugas sebagai khalifah dibumi. Tuhan berfirman dalam Al-Quran, yang intinya menceritakan bahwa tatkala Adam a.s., sang manusia pertama, diciptakan-Nya dan ditunjuk sebagai khalifah dimuka bumi, semua makhluk sujud pada Adam a.s. kecuali iblis.
Demikian tinggi dan mulianya martabat yang diberikan Allah SWT kepada manusia dibanding dengan makhluk lain ciptaan-Nya. Sudah sepantasnyalah kita, manusia, memberi response yang paripurna untuk mengemban tugas mulia ini karena ada nya kita adalah untuk itu.

Tugas tidak lain adalah kewajiban. Kewajiban pengertiannya selalu berkonotasi memberi, bukankah Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa : tangan diatas lebih baik dari tangan yang dibawah? Penugasan sebagai khalifah adalah sangat luas cakupannya, secara harafiah bisa diartikan sebagai pemimpin dimana dalam memimpin sudah termasuk didalamnya adalah mengendalikan, memelihara, melindungi, mempertahankan, mengawasi dan juga ‘menghukum’; dengan tujuan memanfaatkan bumi ini, utamanya untuk sebesar-besarnya kemaslahatan makhluk (seluruh makhluk, bukan hanya manusia) sesuai dengan garis yang telah ditentukan oleh Sunatullah dan contoh bimbingan dari Sunnah Rasulullah Muhammad SAW.

Kewajiban memang selalu dikompensasi oleh ‘rewards’ atau hak, Kewajiban kepada Allah SWT akan diganjar dengan pahala dan dosa yang menjadi hak bagi manusia., bahkan sebelum manusia melakukan kewajiban kepada-Nya, dia sudah terlebih dahulu diberi-Nya hak untuk hidup, rejeki dan banyak hak-hak lain yang diberikan Allah kepada kita, tidak terlihat oleh pikiran awam akan kaitannya dengan kewajiban, ini adalah salah satu dari Rahasia-Nya semata.
Sedangkan dialam dunia fana ini, menurut alur berpikir logis, hak akan timbul sebagai akibat dari kewajiban, dengan demikian wajarlah kewajiban harus lebih dahulu ditunaikan sebelum menuntut hak. Sedangkan kewajiban manusia atas sesama makhluk akan mendapat ganjaran hak yang seimbang pula. Ganjaran hak yang kongkrit dapat kita lihat umpamanya jika seseorang menunaikan kewajiban mengasihi tetangga maka dia pun akan memperoleh hak yang sama dari tetangganya. Kewajiban manusia untuk memelihara lingkungan maka manusia akan memperoleh haknya untuk hidup nyaman, demikian pula sebaliknya kalau manusia merusak lingkungan maka malapetakalah yang akan menjadi haknya. Jadi sesungguhnya kalau kita membicarakan kewajiban sebenarnya sudah merupakan satu paket dengan hak. Selama setiap orang melakukan kewajibannya, secara otomatis orang lain akan memperoleh hak-hak masing- masing.

Kewajiban kita, manusia dapat diproyeksikan kedalam kewajiban individu, karena manusia sebagai makhluk sosial merupakan kumpulan dari individu-individu. Tugas ke-khalifahan ini akan melalui proses tumbuh sesuai dengan pertumbuhan usia dan perkembangan fungsi seorang individu dalam masyarakat.
Proses tumbuhnya kewajiban misalnya semasa kanak-kanak, menghormati orang tua adalah merupakan kewajiban, yang akan menjadi hak orang tua, sementara itu orang tua memiliki kewajiban mendidik anak kearah yang sesuai dengan ajaran-Nya, yang akan menjadi hak si anak. Begitu pula setelah dewasa individu mempunyai kewajiban tambahan ke masyarakatnya. Kalau dia memiliki harta wajib membayar zakat, menyantuni yatim dan orang miskin misalnya. Begitu pula kalau individu berfungsi sebagai pemimpin dalam masyarakat atau keluarga, kewajiban selalu mengiringi perubahan fungsi ini. Pemimpin haruslah mendahulukan kewajibannya kepada umatnya, barulah kemudian dia akan mendapat rewards atau haknya dihormati sebagai pemimpin. Pemimpin yang memulai pekerjaan dengan mengemukakan hak terlebih dahulu akan dinilai negatif oleh masyarakatnya, karena memang itulah kemudian yang menjadi hak nya. Semua usaha dan perdebatan yang menuju kearah perebutan kekuasaan pada hakekatnya adalah melupakan kewajiban. Keadaan individu yang mendahulukan hak ini adalah akibat dari godaan yang dirancang oleh iblis yang memang tetap diberi hak oleh Allah untuk menggoda akibat dihukumnya iblis masuk neraka karena tidak mau sujud kepada Adam a.s.
Banyak contoh-contoh lain yang dapat dikembangkan dan diamati dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi pada hakekatnya, menunaikan kewajiban adalah berada dalam posisi memberi (tangan diatas), dan jika setiap orang sudah memberi, maka setiap orangpun akan menerima hak masing-masing karena secara filosofis setiap pemberi mesti ada penerima nya. Pemberian/penunaian kewajiban secara tulus adalah yang harus kita tuju.

Apa yang menyebabkan manusia cenderung mengambil hak terlebih dahulu, tak lain karena kesombongan manusia juga. Ego yang tinggi sudah merupakan sifat manusia pada umumnya. Mengalahkan ego ini merupaka jalan panjang yang harus ditempuh. Tatkala ego sudah kalah total maka penyerahan diri pada-Nya pun akan menjadi total pula. Pada saat itu pula kewajiban akan ditunaikan sebagai yang utama, dan tulus setulus-tulusnya.

Hari Istimewa

Sekali lagi saya berkomentar tentang khutbah Jum'at. Pada Jum'at 4 Januari 2008 khatib di masjid tempat saya biasa jum'atan dekat kantor menyampaikan keistimewaan hari Jum'at.

Sepintas yang dikemukakan adalah wajar dan lumrah. Bahwa hari Jum'at punya keistimewaan dimata Tuhan sehingga ada perintah shalat jum'at, kemudian disampaikan bahwa ibadah apapun yang dilakukan dihari Jum'at akan mendapat ganjaran pahala berlipat dari Allah, sampai-sampai khatib menganjurkan hari Jum'at sebagai hari libur dan aktifitas ibadah sebaiknya dilakukan sepanjang hari, atau pekerjaan baik-baik dilakukan pada hari itu. Sayangnya ibadah yang dianjurkan khatib adalah sebatas ibadah personal seperti shalat dan zikir.

Memang shalat jum'at adalah shalat yang diistimewakan dalam Islam, tapi menempatkan hari Jum'at hari istimewa seperti yang digambar khatib tersebut adalah berlebihan. Tuhan menciptakan hari adalah sama, kalau satu hari diistimewakan maka harus ada hari yang tidak istimewa, dan ini berlawanan dengan prinsip ke-Maha Adil-an Tuhan. Melakukan ibadah apapun di hari apapun pasti akan diberi ganjaran Tuhan. Kita tidak harus peduli dengan ganjaran tersebut, kita harus peduli hanya pada apa yang menjadi kewajiban kita, baik itu kewajiban kepada Tuhan maupun kewajiban kepada sesama makhluk. Ibadah pun tidak hanya ibadah personal seperti shalat dan zikir, tapi harus seimbang dengan ibadah sosial.

Kemudian issue ini akan berlanjut pada bulan dan tempat yang istimewa, seperti bulan suci, tempat suci dan sebagainya. Saya berpendapat semua waktu, semua tempat sama dimata Tuhan untuk merefleksikan ke-Maha Adil-an Nya. Kalau pun toh ada keistimewaan, bukan lah istimewa dimata Tuhan, tapi istimewa menurut klasifikasi manusia.

Tuesday, January 01, 2008

Milik Siapa?

Tuhan adalah Dia yang Maha Esa
Selalu disebut dengan seribu nama

Manusia Dia jelmakan
Sebagai pancaran diri Nya

Budha, Confusius, Dia jelmakan
Musa, Daud, Yesus, Muhammad, Dia jelmakan
Para orang suci Dia jelmakan
Untuk meretas jalan menuju Dia

Semua Dia jelmakan
sebagai pancaran diri Nya
Manusia semua dalam genggaman Nya.
Tiada hak manusia memiliki Nya.