Tuesday, July 07, 2009

DPT dan KTP

Syukurlah pada tanggal 6 Juli 2009, MK menjalankan fungsinya untuk menilai undang-undang Pemilu sehingga KTP dapat dipakai sebagai identitas pemilih pada pemilihan presiden 2009 yang akan berlangsung 2 hari lagi. Hal ini menyelesaikan silang sengkarut DPT yang dinilai tidak akurat. Sebetulnya dari mana kericuhan DPT ini bermula, mungkin dapat kita runut dari awal, agar dapat melihat masalah dengan jernih dan adil.

Ada dua hal yang sangat menonjol yang disorot yaitu personil KPU dan aturan yang dibuat KPU. Personil KPU dinilai tidak professional oleh sebagian kalangan, sehingga kerja keras KPU dianggap gagal.
Sedangkan aturan-aturan yang dibuat KPU dituduh mengebiri hak politik warganegara untuk memilih, karena kekisruhan DPT tersebut. Aturan KPU sebenarnya sudah dibuat berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan sebagai payung hukum. Undang-undang Pemilu mengamanatkan kepada KPU untuk mendaftar pemilih dengan stelsel pasif, yang artinya KPU membuat daftar pemilih dari data kependudukan yang ada yang disebut sebagai Daftar Pemilih Sementara (DPS), kemudian warganegara yang memiliki hak memilih harus melihat sendiri apakah dirinya sudah terdaftar dan dapat mengajukan keberatan. Daftar ini yang kemudian menghasilkan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ini berbeda dengan pemilu 2004 dengan stelsel aktif, dimana KPU mendaftarkan semua pemilih dengan mendata semua penduduk yang punya hak pilih kesetiap rumah tangga. Stelsel pasif ini sesuai dengan semangat undang-undang dasar Republik Indonesia bahwa memilih itu adalah hak, bukan kewajiban. Tapi kelihatannya kita belum siap dengan stelsel pasif ini, atau mungkin warga negara belum biasa dengan berperan aktif, akibat selama bertahun-tahun kita selalu didikte harus mengerjakan apa. Baru sepuluh tahun ini kebebasan dikenalkan sehingga kita perlu belajar berada didalam kebebasan sejak dari awal. Malahan kita juga harus belajar berdemokrasi sejak dari awal pula.
Dalam perjalanan prose pemilu terjadi kericuhan dalam DPT, yang kemudian dengan sangat piawai diangkat sebagai issue politik. Sindiran-sindiran dikeluarkan karena tidak dapat salah satu pihak menuduh pihak lain tentang kecurigaan bahwa kekisruhan DPT ini adalah disengaja untuk kepentingan tertentu.

Sadarkah kita bahwa dalam pembentukan KPU dan pembuatan undang-undang Pemilu sangat ditentukan oleh keputusan yang dibahas secara intensif oleh DPR, dan bahwa keputusan tersebut dibuat secara demokratis? Kenyataan bahwa pihak yang protes atas professionalisme dan aturan KPU tersebut berasal dari PDIP sebagai pendukung utama calon presiden Megawati; dan Golkar sebagai pendukung utama calon presiden Jusuf Kalla. Kedua kubu calon presiden tersebut adalah fraksi yang mendominasi DPR pada saat diputuskan. Sementara kubu calon presiden Susilo Bambang Yudoyono yang juga presiden incumbent ditenggarai sebagai yang paling bertanggung jawab, pada hal KPU dibuat sebagai lembaga independen.Sebagai pemerintah incumbent JK seharusnya dapat menekan sejak awal proses pemilu, sehingga tidak membuang biaya sekian besar untuk urusan daftar pemilih.

Akhirnya MK menjalankan fungsinya dalam menyelesaikan masalah DPT ini dengan baik sekali.
JK-Win dan Mega-Pro membantu KPU dengan sejumlah komputer untuk membantu KPU dalam menyelesakan masalah DPT ini. Suatu usaha yang baik dan kelihatan sangat perduli dengan hak warganegara. Semoga kepedulian tersebut akan berlanjut kalau terpilih jadi presiden nanti.

Saya salut atas usaha JK dan Mega dalam kegigihan menyuarakan masalah DPT ini. Namun ada yang kurang pas dengan adanya ’tendangan pamungkas’ setelah pergulatan selesai; keputusan tentang KTP ini diaku sebagai hasil kerja keras JK-Win dan Mega-Pro, sementara SBY disindir tidak punya andil sama sekali. Sungguh rasa hormat dan kagum saya atas usaha tersebut agak berkurang dengan sikap meng-claim seperti ini.