Saturday, September 05, 2009

Malaysia… oh…Malaysia.

Berita aktual minggu ini adalah isu tentang kekesalan terhadap Malaysia. Kekesalan bermula dari adanya iklan pariwisata Malaysia yang ditayangkan oleh studio televisi Discovery dengan sajian tari pendet. Iklan ini telah mengusik ketenangan setelah hiruk pikuk pemilu presiden yang disusul dengan isu teroris yang cukup menyita banyak perhatian media masa.

Media masa menyambut isu ini dengan gempita, karena mendapat bahan pemberitaan yang ekslusif sebagai kontinuitas gegap gempitanya isu yang menjadi sumber berita sebelumnya. Isu ini cenderung dipertahankan dengan kemasan yang menarik, terutama oleh media televisi.

Kembali kepada topik yang dibicarakan adalah tentang isu Malaysia. Perlu dilakukan kajian yang jernih tentang isu ini, baik berupa klaim budaya sampai dengan penghinaan. Diberitakan Malaysia mengklaim tari pendet sebagai tarian Malaysia dalam iklan Discovery tersebut. Sesungguhnya tidak ada klaim dari mereka atas tarian tersebut, hanya interpretasi kita saja yang mengatakan begitu. Kelihatan kita terlalu emosi menanggapi isu tari pendet, padahal sebenarnya masalah tidaklah substantif dalam skala hubungan antar negara. Apalagi Malaysia sudah memberi penjelasan dan minta maaf sesuai dengan tatakrama internasional.

Media televisi mengemas isu ini dengan menyajikan rangkaian fakta-fakta mulai tari pendet, tentang lirik Indonesia Raya yang dirubah, Ambalat, dan TKI kedalam suatu skenario. Secara sendiri-sendiri faktanya tidak dapat dibantah, namun akibat kemasan penyajiannya menjadikan seolah-olah dalam satu rangkaian yang terencana. Alangkah bodohnya pemerintah Malaysia melakukan itu secara terencana dalam suatu rangkaian karena dalam era globalisasi yang dibutuhkan adalah kerjasama bukan pertentangan.
Ada stasiun televisi dengan santer menyajikan isu ini secara masif, bahkan mengundang narasumber untuk diwawancarai. Tentu saja narasumber yang diundang adalah yang dapat mendukung skenario yang sudah disiapkan. Sajian ditambah dengan film yang menggambarkan kegiatan Bung Karno waktu konfrontasi dulu. Maksudnya mungkin untuk meningkatkan rating agar pemasukan iklan semakin besar. Tapi yang terjadi malahan rakyat menjadi terprovokasi. Isu konfrontasi dengan slogan ”ganyang Malaysia” kembali dikobarkan, yang sudah tentu akan membakar emosi masyarakat awam. Demikian pula halnya dengan lagu kebangsaan Malaysia ’Negaraku’ yang ditenggarai sebagai jiplakan lagu Terang Bulan. Padahal lagu seperti itu sudah ada sejak abad ke 18 diciptakan oleh orang Perancis. Kalaupun misalnya Negaraku adalah jiplakan dari Terang Bulan, bukankah logikanya kita patut berbangga, lagu yang disini dianggap biasa-biasa saja malahan dihormati jadi lagu kebangsaan Malaysia. Kita harus dapat memisahkan antara niat; kekeliruan; atau individu yang iseng dan nakal, janganlah sampai terpancing kedalam isu yang tidak substansial.

Televisi adalah media audivisual yang sangat effektif, gambar yang ditayangkan memuat sejuta kata yang tidak dapat dilakukan oleh media cetak maupun radio yang bahkan kadang-kadang gambar tidak memerlukan kata-kata sama sekali. Memang tidak perlu ajakan eksplisit, karena tanpa diajak eksplisit pun penonton sudah terpengaruh. Informsi memang perlu dicerna, tapi tidak semua orang cerdas sehingga dapat memilah. Pemirsa TV adalah dari segala golongan mulai dari yang cerdas dan berwawasan, sampai yang tidak mengerti dan berwawasan dangkal.

Sebagai contoh : televisi barat sangat pintar memanfaatkan kekuatan gambar, sering kita lihat kalau teroris beragama Islam tertangkap, diperlihatkan kegiatan kesehariannya shalat dan pergi kemasjid dengan gamblang walaupun tanpa narasi. Sebaliknya kalau teroris Belfast Irlandia yang notabene Katolik yang tertangkap, tidak pernah diperlihatkan kesehariannya ke gereja. Akibatnya dunia menuai stigmatisasi Islam seperti yang terjadi saat ini. Apakah televisi kita bermaksud sama dengan televisi barat untuk isu ini? Apakah sebenarnya ada kekesalan lain terhadap unjuk kerja pemerintah atau terhadap hasil pemilu, sehingga kekesalan ditumpahkan lewat isu lain?

Konfrontasi seperti yang pernah dialami akan menguras sumber daya yang besar sekali, sementara jalan yang lebih murah dan elegan masih tersedia. Akankah kita negara serumpun yang mempunyai akar budaya yang sama akan terseret kedalam pertentangan yang tidak perlu? Banyak contoh ketegangan yang terjadi antar beberapa negara dizaman modern ini --bahkan mereka tidak serumpun-- sebagian besar dapat diselesaikan dengan cara damai dan bermartabat. Itu yang terjadi misalnya waktu pesawat Korea Selatan yang ditembak jatuh oleh Soviet diatas pulau Sachalin beberapa dekade yang lalu, walaupun terjadi korban jiwa yang banyak, tetap dapat diselesaikan dengan elegan. Demikian juga halnya perselisiham kita dengan Malaysia masalah pulau Lingitan, walaupun terjadi suasana emosional sesaat, namun selesai dengan elegan dan terhormat. Jangan sampai terjadi kita perang dengan Malaysia gara-gara lagu dan tari, seperti perang antara Honduras dan El Salvador pada tahun 1969 gara-gara pertandingan sepakbola.

Kepada stasiun televisi sebaiknya tetap menyajikan fakta dalam rangkaian obyektif; dan mengundang narasumber yang seimbang, sehingga azas cover both sides tetap dipertahankan. Sebaiknya juga televisi melakukan sajian persuasif kearah perdamaian, bukan dengan sajian gelora nasionalisme yang dangkal, yang sekedar mengangkat rating, karena kita tidak ingin berada dalam suasana tegang ataupun perang. Janganlah membesar-besarkan isu yang tidak substansial menjadi isu yang provokatif, karena sikap inilah yang membuat kita dilecehkan.


31 Agustus 2009

No comments: