Friday, June 20, 2008

Sekitar Pro-kontra Ahmadiyah

Agama adalah suatu cara/way-of-life/petunjuk/penuntun umat manusia yang disampaikan melalui nabi/rasul/orang-yang-diberi-petunjuk. Sejatinya manusia diselubungi oleh (encompassed by) agama, dengan demikian agama bukanlah suatu teritory atau kawasan, sehingga manusia tidak bisa memiliki agama.

Kenyataan sekarang banyak orang yang merasa memiliki agama sehingga faktor yang melekat atas kepemilikan/teritory akan menjadi issue, seperti ketersinggungan, penghinaan, pelecehan, penyerangan, pembelaan, dll. Faktor ini hanya mungkin terjadi terhadap manusia sebagai pemeluk agama, bukan terhadap agama sendiri, dan ukurannya jelas ukuran-ukuran sosial manusia.

Surat Keputusan Bersama

Senin, 9 Juni 2008, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (SKB) tentang Ahmadiyah telah diluncurkan Pemerintah. Inti dari SKB adalah seperti termuat dalam diktum kesatu dan kedua. Diktum Kesatu : “ Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” dan diktum Kedua : “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” (kutipan dari website Dep. Agama RI)

Diktum Kesatu sangat mengerikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak saja akan memberangus pemikiran Islam, tapi juga agama lain. Menyimpang dari pokok-pokok ajaran akan sangat tergantung pada siapa yang menilai (atau yang berkuasa), dapat saja ijtihad dianggap sebagai menyimpang dari pokok-pokok ajaran, atau perbedaan penafsiran yang selama ini banyak dan lumrah terjadi akan menjadi masalah. Diktum ini akan menjadi aturan yang dapat ditafsirkan secara semaunya, yang dapat dipergunakan oleh satu golongan untuk menghujat golongan yang tidak se aliran. Bagi kalangan Islam bahkan akan menutup pintu ijtihad dan pikiran-pikiran pembaharuan.

Karena SKB berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia tidak hanya untuk umat Islam, jika diterapkan pada agama lain seperti Kristen, Budha dan Hindu. Sebagaimana dalam agama Kristen misalnya kita ketahui terdapat sekte yang pokok-pokok ajaran-nya sangat berbeda satu sama lain, dan ajaran yang mana yang akan dianggap rujukan pokok-pokok ajaran. Masalah berikut adalah siapa yang berhak menentukan keabsahan pokok-pokok ajaran yang dimaksud, apakah pemerintah atau badan apa?

Tujuan untuk meredam Ahmadiyah akhirnya akan merembet kepada yang lain-lain, akibat dari diktum kesatu ini, dan memberi peluang konflik horisontal selanjutnya.

Diktum Kedua khusus bagi jemaah Ahmadiyah, agak lebih “ringan” karena yang dilarang hanya melakukan penyebaran penafsiran tentang adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, kalau meyakininya sih boleh-boleh saja asal jangan disebarkan. Namun demikian ini sangat membatasi hak warganegara yang dilindungi oleh konstitusi, seperti misalnya, orang tua tidak dapat medidik anak-anak sesuai dengan keyakinannya karena akan dituduh menyebarkan penafsiran.

Satu hal yang luput diatur SKB ini adalah bagaimana aturannya kalau terjadi pemaksaan untuk menganut satu penafsiran. Bukankah ketentuan untuk menetapkan pokok-pokok ajaran adalah salah satu bentuk pemaksaan untuk menganut suatu penafsiran. Ini yang akan tetap menimbulkan masalah.

Islam

Kalau kita membaca al-Quran, didalamnya terdapat pengertian bahwa muslim adalah orang-orang yang termasuk kedalam salah satu kriteria "yang menyerahkan diri secara total kepada Yang Maha Mutlak". Dengan demikian sejak dari Adam, Nuh, Musa, Isa dll. disebut sebagai muslim. Adapun kemudian ummat Muhammad melembagakan diri menjadi satu agama yang organized yang disebut Islam. Konsekwensi dari organized religion adalah menjadi suatu obyek kepemilikan, yang selanjutnya akan "mempersempit" kriteria Muslim. Dan akan muncul Issue “muslim yang mana”, apakah yang merujuk pada al-Quran atau yang mutawattir sebagai muslim yang kita kenal saat ini? Dari issue ini akan terjadi perbedaan dalam penafsiran. Seyogyanyalah kemudian issue ini menjadikan Islam sebagai agama yang toleran atas semua perbedaan penafsiran.

Perbedaan penafsiran tidak dapat dihakimi sepanjang dia tidak mengganggu penganut penafsiran lain. Penganut pebafsiran lain yang dimaksud adalah subyeknya yaitu manusia, sehingga ukuran yang dipakai adalah ukuran hubungan antar manusia. Pengaturan inilah yang dapat dicampuri oleh Negara.

Kalau Ahmadiyah dianggap sesat oleh orang Islam, cukup dianggap sesat oleh orang Islam saja, dan biarkanlah mereka dengan kesesatannya, negara tidak perlu direpotkan. Kalau Ahmadiyah dianggap mengganggu aqidah adalah tidak masuk akal. Persoalan Aqidah adalah persoalan keyakinan masing-masing individu, tidak akan ada Aqidah seseorang yang akan ternoda akibat perbuatan orang lain, kecuali dia menodai sendiri. Jangan sampai kita mencari alasan diluar diri untuk hal-hal yang memang harus kita jaga sendiri. Persoalan perbedaan penilaian jangan menjadikan ummat terkotak-kotak dalam kubu kita dan kalian yang saling berhadapan laiknya musuh. Kita jangan sampai terjebak kedalam persaingan yang menuju kepada zero sum dimana kita harus menang mutlak dan kalian (musuh) harus lenyap, ibarat dalam pertandingan tinju tidak perlu menang KO. Iblis saja yang jelas-jelas jadi musuh besar dibiarkan hidup.

Kenapa kita tidak mencari kesamaan yang membuat rukun kehidupan, lakukanlah hal yang berguna bagi kehidupan dan kemanusiaan tanpa embel-embel dan predikat Islam menurut A atau Islam menurut B. (Bukankah berguna bagi lingkungan dan kemanusiaan adalah manifestasi rahmatan li al-'alamin?). Predikat akan menjurus kepada egoisme yang menjauhkan kita dari Yang Maha Mutlak. Islam menganjurkan agar mecari “kalimatun sawa” yang dapat menyatukan manusia untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan.

Penutup.

Pikiran logis secara otomatis “membaca” bahwa SKB diterbitkan dalam rangka usaha Pemerintah untuk meredam kekisruhan tentang Ahmadiyah yang mulai merepotkan. Terlihat bahwa tekanan dari pihak yang pro pembubaran Ahmadiyah telah memaksa pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan mereka, sementara itu pemerintah juga harus mengakomodasi pihak yang anti pembubaran Ahmadiyah. Dan hasilnya adalah SKB dengan klausul yang sulit diterapkan dalam tataran praktis. Bahkan kekisruhan yang mau dihindari tetap ada seperti yang terlihat dalam tiga minggu setelah SKB diterbitkan.

Alasan pihak-pihak yang menginginkan Ahmadiyah dibubarkan adalah persoalan penodaan yang diatur dalam UU No 1/PNPS/1965. Kelihatannya UU ini yang perlu diuji, karena secara logika bagaimanapun negara tidak bisa mengatur keyakinan. Negara hanya perlu mengatur perilaku warga agar tidak mengganggu, patokan dasar pengaturan adalah : kebebasan satu pihak dibatasi oleh kebebasan pihak lain.

Tidak ada yang mutlak didunia ini, kecuali Dia Yang Maha Mutlak.

Jakarta, 20 Juni 2008

Tuesday, June 10, 2008

SKB Ahmadiyah

Senin, 9 Juni 2008, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (SKB) tentang Ahmadiyah telah diluncurkan Pemerintah. Pikiran logis secara otomatis “membaca” bahwa SKB diterbitkan dalam rangka usaha Pemerintah untuk meredam kekisruhan tentang Ahmadiyah yang mulai merepotkan. Terlihat bahwa tekanan dari pihak yang pro pembubaran Ahmadiyah telah memaksa pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan mereka, sementara itu pemerintah juga harus mengakomodasi pihak yang anti pembubaran Ahmadiyah. Dan hasilnya adalah SKB dengan klausul yang sulit diterapkan dalam tataran praktis.

Inti dari SKB adalah seperti termuat dalam diktum kesatu dan kedua. Diktum Kesatu : “ Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” dan diktum Kedua : “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” (kutipan dari website Dep. Agama RI)

Diktum Kesatu sangat mengerikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak saja akan memberangus pemikiran Islam, tapi juga agama lain. Menyimpang dari pokok-pokok ajaran akan sangat tergantung pada siapa yang menilai (atau yang berkuasa), dapat saja ijtihad dianggap sebagai menyimpang dari pokok-pokok ajaran, atau perbedaan penafsiran yang selama ini banyak dan lumrah terjadi akan menjadi masalah. Diktum ini akan menjadi aturan yang dapat ditafsirkan secara semaunya, yang dapat dipergunakan oleh satu golongan untuk menghujat golongan yang tidak se aliran. Bagi kalangan Islam bahkan akan menutup pintu ijtihad, selain membuat Ahmadiyah tetap menjadi sasaran tembak.

Karena SKB berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia tidak hanya untuk umat Islam, maka akan lebih runyam lagi jika akan diterapkan pada agama lain seperti Kristen, Budha dan Hindu. Sebagaimana kita ketahui dalam agama Kristen misalnya terdapat sekte yang pokok-pokok ajaran-nya sangat berbeda satu sama lain dan yang mana yang akan dianggap sebagai rujukan pokok-pokok ajaran. Masalah kedua adalah siapa yang berhak menentukan keabsahan pokok-pokok ajaran yang dimaksud, apakah pemerintah atau badan apa? Ada lagi pertanyaan, kalau ada kejadian penafsiran tersebut, apakah wartawan boleh memberitakan?

Tujuan untuk meredam Ahmadiyah akhirnya akan merembet kepada yang lain-lain, akibat dari diktum kesatu ini, dan memberi peluang konflik horisontal selanjutnya.

Diktum Kedua khusus bagi jemaah Ahmadiyah, agak lebih “ringan” karena yang dilarang hanya melakukan penyebaran penafsiran tentang adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, kalau meyakininya sih boleh-boleh aja asal jangan disebarkan. Namun demikian ini sangat membatasi hak warganegara yang dilindungi oleh konstitusi, seperti misalnya, orang tua tidak dapat medidik anak-anak sesuai dengan keyakinannya karena akan dituduh menyebarkan penafsiran.

Menurut hemat saya perbedaan keyakinan ini tidak perlu di”hakimi” oleh pemerintah, kalau Ahmadiyah dianggap sesat oleh orang Islam, cukup dianggap sesat oleh orang Islam saja, dan biarkanlah mereka dengan kesesatannya. Persoalan Aqidah adalah persoalan keyakinan masing-masing individu, tidak akan ada Aqidah seseorang yang akan ternoda akibat perbuatan orang lain, kecuali dia menodai sendiri.

Wallahu a’lam