Tuesday, September 16, 2008

What Went Wrong with Us

Sari berita : Minggu 14 September 2008, enam orang anak meninggal akibat tawuran remaja ABG di Pamulang, Tangerang. Senin, 15 September 2008, ribuan orang berdesak-desakan menunggu pembagian zakat di Pasuruan, 21 orang meninggal karena terdesak dan terhimpit. Pada hari Senin yang sama, perkelahian antar fakultas masalah perebutan penguasaan halte di salah satu universitas Ternate dan terlihat dalam tayangan televisi bak perang antar suku jaman dulu. Masih hari yang sama, supporter PSM Makassar mengamuk karena kesebelasannya kalah bertanding dengan Persela Lamongan. Sebelumnya, beberapa pendukung calon kepala daerah yang kalah dalam Pilkada mengamuk atau sang calon mengggugat ke pengadilan, yang pada prinsipnya tidak mau kalah walaupun kenyataan dilapangan sudah jelas kalah. Kemudian tidak dapat dikesampingkan kerumunan orang berhimpit-himpitan dikantor-kantor pos untuk menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), sampai ada yang pingsan.
Kita berduka untuk itu semua.

Namun apa yang dapat kita baca dari cuplikan berita media diatas?

Ada dua hal terindikasi dari peristiwa-peristiwa tersebut, yaitu masalah: Pendidikan, kemiskinan, kepedulian dan etika. Perkelahian remaja di Pamulang dan mahasiswa di Ternate adalah buah dari pendidikan dasar kita yang kacau dan tidak terprogram dengan baik. Sekolah dibebani dengan kurikulum yang padat dan tidak jelas tujuannya, sementara pendidikan etika dan budi pekerti sama sekali terabaikan. Lihat saja kurikulum dasar di SD, berapa banyak pelajaran yang sia-sia dan saling tumpang tindih.
Anak didik sekolah dasar dijejali dengan pengetahuan cognitif yang sangat banyak, sementara alat untuk menyerap pengetahuan tersebut tidak pernah diajarkan. Dua alat utama untuk menyerap ilmu sama sekali dilupakan, yaitu logika, dan rasa. Alat logika membuat kita dapat menerima pengetahuan cognitif dan melakukan kalkulasi, perencanaan, mencipta teknologi, serta menciptakan tool lain yang dibutuhkan dalam hidup. Alat logika biasanya diajarkan melalui matematika. Alat rasa, adalah alat yang mebangun moral, biasanya diajarkan melalui pelajaran etika, budi pekerti dan kesenian. Sekarang ada pelajaran agama, tapi terjebak dengan pengetahuan cognitif agama, bukan dasar-dasar etika dan moral. Diatas semua itu yang menjadi alat bagi keduanya adalah bahasa, semua pelajaran dan ilmu harus dikomunikasikan dengan bahasa. Jadi tiga hal penting untuk pendidikan dasar dan sekarang harus dibenahi adalah pelajaran Bahasa, Matematika dan Etika. Apa yang didapat anak didik kita di sekolah dasar memang sudah mencakup ketiga hal tersebut, tapi anak didik diajarkan matematika, diajarkan bahasa, diajarkan agama, semuanya ditingkat cognitif belaka, tidak pernah menyentuh konsep. Belum lagi tambahan beban mata pelajaran lain yang jumlahnya dua atau tiga kali lipat.

Peristiwa Pasuruan dan BLT, disamping cerminan dari hasil pendidikan yang tidak effektif, yang menonjol adalah masalah kemiskinan yang sudah menjadi kemiskinan struktural. Masyarakat yang miskin karena tidak mempunyai penghasilan tetap. Sudah barang tentu ini adalah akibat dari salah urus sistim perekonomian kita, dimana Indonesia sebagai negara yang kaya sumberdaya alam tapi memiliki banyak rakyat miskin yang bahkan miskin turun temurun. Sebenarnya masyarakat miskin ini berada didalam suatu negara yang terdiri dari kelompok orang yang disebut sebagai bangsa yang sangat religious. Agama apapun mengajarkan untuk memerangi kemiskinan. Bahkan Islam memberikan solusi yang sangat komprehensif dalam kewajiban berzakat. Sementara Islam sebagai agama mayoritas, sudah seharusnya mempunyai tanggung jawab yang paling besar dalam menaggulangi kemiskinan. Namun Islam Indonesia tidak menemukan cara yang ampuh untuk mengemban tanggung jawab ini, sehingga kemiskinan tetap tidak berkurang.

Dalam peristiwa Pasuruan, orang kaya yang memberi zakat tidak cukup memiliki logika dan rasa sehingga tidak dapat mengontrol akibat yang akan timbul, walaupun peristiwa seperti kejadian senin kemaren berulang setiap tahun diberbagai tempat. Tidak ada bedanya dengan pemerintah yang mengucurkan BLT, tidak dapat mengontrol dan memanage dengan baik.
Sementara itu bagi penerima zakat maupun BLT pun tidak memahami etika dan moral kebersamaan, tidak mau antri, ingin menang sendiri, sehingga desakan massa tak terhindarkan. Inilah buah dari pendidikan kita, memang sakit tapi kita harus berubah.

Peristiwa Pilkada, adalah cerminan ketidak tulusan dalam menerima kenyataan. Kalah dan menang dalam suatu pemilihan adalah suatu yang niscaya. Ketulusan dalam menerima kekalahan adalah salah satu dasar dari demokrasi. Demokrasi kita sepertinya masih sekedar menyetujui adanya proses pemilihan terbuka, namun yang menang harus aku. Untuk mendapatkan ketulusan hanya melalui pendidikan. Sementara pendidikan atas rasa kita samasekali tidak punya perasaan. Demikian juga dengan peristiwa sepakbola Makassar, dan peristiwa-peristiwa serupa dalam pertandingan sepakbola diseantero tanah air, tidak tulus menerima kekalahan, hanya tulus kalau menang.

Saya bertanya dalam hati: What went wrong with us ?

Sebagai catatan akhir, perlu diwaspadai pembagian zakat fitrah ummat Islam waktu lebaran dan pembagian daging qurban pada Iedul Adha, yang segera akan menjelang.
(published at Koran Tempo, Sept. 23, 2008)

Monday, September 08, 2008

Pemilihan Umum.

Wah kok judulnya Pemilihan Umum ya, rasanya seperti kata asing karena sekarang sudah berubah jadi akronim Pemilu. ….
OK ngomong-ngomong soal pemilu ada beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan dalam benak saya.

Sebagaimana diketahui bahwa Pemilu adalah bagian dari proses penyelenggaraan Negara yang dilakukan secara periodik. Sekarang KPU sedang sibuk mempersiapkan Pemilu 2009, saya ketahui dari media massa bahwa tahap pendaftaran pemilih sudah hampir selesai, dan hari ini sebagai hari terakhir bagi calon pemilih untuk mencek ke kelurahan apakah namanya sudah terdaftar. Seperti biasa, dari pemilu ke pemilu cara ini tidak effektif, karena tetap saja protes tentang daftar pemilih akan timbul pada saat hari H pemilu. Pertanyaan yang timbul dalam benak saya adalah: Kenapa KPU tidak mengandalkan data KTP saja sebagai tanda terdaftar pemilih, kenapa harus ada pendaftaran pemilih, bukankah data KTP adalah data yang paling basic dan lengkap? Apakah tidak sebaiknya pemilih cukup dengan menunjukkan KTP, sehingga sekian miliar rupiah bisa dihemat hanya untuk pendaftaran pemilih yang tetap saja akan bermasalah. Apakah data KTP tidak dapat dipercaya?

Kemudian ada issue lain yang kurang dapat saya pahami. Beberapa waktu yang lalu KPU melakukan MOU dengan Kepolisian Negara RI, yang mana Polri sepakat untuk mengamankan Pemilu. Saya heran kenapa harus ada kesepakatan seperti itu dibuat formalitasnya? Bukankah tugas Polisi mengamankan tertib sipil di republik ini, apalagi pengamanan Pemilu adalah hajatan resmi pemerintah, jadi cukup pemberitahuan dari KPU ke Polri apa saja program kegiatannya.

Mungkin ada pakar yang dapat menjelaskan hal ini, dan sebagai catatan: Kalau sekiranya UU Pemilu yang mengamanatkan hal-hal diatas, maka saya kira untuk kedepan UU Pemilu perlu direvisi, agar penyelenggaraan pemilu kita lebih sederhana.

Monday, September 01, 2008

Puasa Tanpa Pamrih

Ramadhan datang silih berganti setiap tahun. Bulan yang dinantikan oleh ummat Islam. Bulan dimana diwajibkan untuk melakukan puasa, menahan lapar dan haus serta menahan amalan lain yang biasanya boleh dilakukan pada siang hari.

Kita, ummat yang sejak dilahirkan sudah menjadi Islam mungkin mengalami proses yang sama ketika akan memasuki bulan puasa. Semasa kanak-kanak disuruh orang tua berpuasa dengan iming-iming materi sampai surga dan neraka. Kita akan berpuasa meskipun menjadi beban karena harus menahan lapar dan haus. Puasa dirasakan sebagai penghalang untuk bersekolah maupun bermain. Namun kita tetap berpuasa karena takut sama orang tua dan juga takut masuk neraka. Kita berpuasa karena ingin masuk sorga.

Kemudian beranjak dewasa, mulai dirasakan sebagai suatu keharusan karena diwajibkan secara syar’i. Kewajiban adalah sesuatu yang mau tak mau harus dita’ati secara sukarela, walaupun kadang-kadang dalam hati kecil sebenarnya ada ketidak nyamanan. Masa dewasa kita punya justifikasi yang lebih canggih, bahwa puasa baik untuk kesehatan, puasa meningkatkan itensitas ibadah sehingga dapat mengumpulkan pahala. Tanpa disadari kesemua alasan ini adalah alasan yang menunjuk pada diri sendiri, alasan untuk kepentingan pribadi, singkatnya untuk memuaskan ego. Jadilah kita tetap berpuasa, karena takut dengan ancaman masuk neraka. Kita berpuasa karena ingin masuk sorga.

Jadi puasa dewasa dan kanak-kanak sama saja, puasa dengan pamrih tidak mau masuk neraka, dan ingin masuk sorga.

Konsep hidup dalam Islam adalah "innalillahi wa inna ilaihi raji’un", sesungguhnya dari Nya (yang Haqq) dan kepada Nya akan kembali. Jelas konsep dasar Islam adalah kembali kepada al-Haqq. Karena tujuannya adalah al-Haqq maka orientasi utama pun adalah al-Haqq.

Agama adalah jalan menuju al-Haqq, sedangkan pamrih (e.g. sorga dan neraka) adalah iming-iming, seyogyanya semakin dewasa cara beragama semakin luruh iming-iming tersebut dan semakin jelas keinginan menyatu dengan al-Haqq, sehingga “aku” tidak lagi exist yang ada hanya Dia.

Allah memerintahkan orang-orang beriman berpuasa dibulan ramadhan agar manusia bertaqwa “la’allakum tattaqun”. Taqwa tidak lain menjadikan diri fana dan tunduk kepada al-Haqq. Tuhan menjanjikan dalam hadis qudsi yang intinya mengatakan semua ibadah adalah untuk manusia kecuali puasa adalah untuk Ku. Jadi berpuasa hendaknya dilakukan dengan ikhlas, hanya untuk Allah semata.

Berbeda dengan ibadah-ibadah seperti shalat dimana kita harus melakukan gerakan dan bacaan, atau zakat yang harus melakukan sesuatu untuk memberikan harta; haji harus melakukan tawaf dan sa’i; tapi puasa sebenarnya ibadah untuk tidak melakukan apa-apa, dilarang makan minum dan beberapa amalan lainnya. Hakekat puasa adalah kita menuju al-Haqq. Kalau berpuasa mengharap surga, atau menghindarkan neraka, artinya kita mementingkan diri sendiri, memuaskan ego, memuaskan ke-aku-an untuk hidup nikmat. Padahal “ilaihi raji’un” mengandung pesan bahwa hanya Dia sang al-Haqq lah yang dituju, hanya Dia yang menjadi tujuan satu-satu nya.

Puasa sebagai perintah syar’i harus dilakukan sebagai tanda keta’atan. Ta’at saja tidaklah cukup, karena sekadar ta’at hanya sekedar kepatuhan. Kepatuhan tidak cukup menunjukkan ketundukan sebagai ciri taqwa. Ketundukan adalah makna hakiki dari Islam. Kalau ta’at dan patuh saja ibarat ta’at dan patuh kepada majikan tapi tidak tunduk dan lebur dengan majikan. Untuk itu berpuasa harus disikapi dengan kepatuhan dan tunduk tanpa pamrih, ketundukan sampai ke-aku-an atau ego hilang dan lebur didepan Nya, hanya Dia yang ada, aku menjadi fana.

Marilah kita berusaha berpuasa tanpa pamrih, berusaha melebur ke-aku-an (ego) karena keakuan atau ego menumbuhkan kesombongan. Banyak fatwa yang menasehatkan agar kita menghilangkan kesombongan, pada hal tidak hanya kesombongan yang harus dihilangkan karena hilangnya kesombongan tetap saja masih menyisakan subyeknya yaitu ke-aku-an (ego). Ke-aku-an/ ego yang merupakan subyek kesombonganlah yang harus fana.

Wallahu a’lam.