Monday, October 31, 2011

Kurban

Setiap Iedul-adha bagi ummat Islam yang mampu secara ekonomi, sangat dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban. Kurban berasal dari bahasa Arab qaraba yang artinya dekat, dengan demikian kurban adalah melakukan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata kurban dalam pemakaian praktis sehari-hari berarti: memberikan sesuatu yang bernilai dengan percuma; atau dapat juga berarti: kerugian/kecelakaan akibat sesuatu. Tulisan ini berada dalam konteks pengertian praktis tersebut.

Hewan kurban yang disyariatkan dalam Islam adalah hewan yang biasa dikonsumsi dagingnya seperti: kambing, domba, onta, sapi, kerbau, dll. Skala terkecil bagi satu orang untuk berkurban adalah seekor kambing atau domba, sementara sapi atau onta boleh untuk kurban tujuh orang. Kemudian daging sembelihan dibagikan kepada masyarakat lingkungan lokasi penyembelihan.

Penyembelihan dilaksanakan sesudah shalat Ied atau sampai 3 hari sesudahnya. Panitia kurban akan menyediakan tukang jagal, namun setiap yang berkurban ditawarkan apakah akan menyembelih sendiri hewan kurbannya. Karena penyembelihan tidak sepenuhnya dilakukan oleh professional, termasuk pengelolaan pasca penyembelihan, akan sangat mungkin menimbulkan dampak negatif. Antara lain dampak nya adalah tingkat higienis daging tidak terjamin; terjadi pencemaran lingkungan disekitar area penyembelihan yang ditimbulkan oleh aroma tidak enak dan tidak sehat baik dari kotoran maupun darah hewan.

Secara tradisional di Indonesia, biasanya penyembelihan dilakukan dilapangan terbuka, seperti halaman masjid atau musholla. Acara penyembelihan merupakan peristiwa yang jarang terjadi, membuat acara ini menarik perhatian sehingga banyak disaksikan oleh masyarakat, termasuk anak-anak. Penyembelihan sendiri adalah peristiwa pembunuhan berdarah atas hewan kurban. Meskipun tatacara penyembelihan telah sesuai dengan syariat, namun peristiwa itu sendiri adalah mengesankan kekejaman. Kondisi ini membuat dampak negatif lain, dimana anak-anak yang menyaksikan akan terpengaruh, dan dikuatirkan menjadi terbiasa dengan pertumpahan darah. Secara psikologis akan membangkitkan naluri kekejaman dan mengendap menjadi memori yang suatu waktu dikuatirkan akan bangkit berupa kekejaman sesama manusia.

Mungkin sudah saatnya kita memikirkan, apakah tidak sebaiknya penyembelihan hewan kurban dilakukan di rumah potong hewan (RPH). Disana pemotongan dan pengelolaan pasca pemotongan akan lebih professional dengan standar operasi penanganan yang hygienis. Anak-anak juga dapat dijauhkan dari efek negatif tentang kekejaman. Lebih utamanya lagi adalah hewan kurban berada ditangan ahlinya, sesuai dengan anjuran Islam untuk menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya. Langkah ini akan mendekatkan kita kepada Allah sesuai dengan essensi dari kurban sendiri.

31 Oktober 2011
Adli Usuluddin

Tuesday, October 11, 2011

Masjid yang Sepi.

Ada fenomena tentang kemakmuran masjid saat ini yang berawal dari aktifitas masjid selama bulan Ramadhan yang lalu. Kebanyakan masjid dipenuhi jamaah sampai melimpah pada bulan puasa Ramadhan, kemudian kembali sepi setelah puasa lewat. Kenyataan itu terjadi pada hampIr di seluruh masjid kita, termasuk masjid dikompleks perumahan saya. Kenapa pada bulan Ramadhan masjid penuh dalam menunaikan shalat tarawih yang menurut fiqh hukumnya sunat, sementara setelah bulan Ramadhan shalat lima waktu yang ibadah wajib malahan jamaah masjid sering sepi.

Kenapa pertanyaan dan kekuatiran tentang jumlah jamaah masjid ini timbul? Apakah karena masjid dibangun agar diramaikan oleh jamaah, atau masjid dibangun untuk memfasilitasi jamaah? Ataukah karena sepinya masjid, kita tidak bisa membanggakan agama kita, atau kita memang perduli pada jamaah? Pertanyaan ini beruntun muncul dalam pikiran saya.

Masjid dikenal sebagai tempat menampung aktifitas ibadah dan sosial umat islam, demikianlah konon yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sekelompok jamaah yang membangun masjid untuk keperluan mereka dan memanfaatkannya sesuai dengan keperluan, namun apabila masjid dibangun agar diramaikan oleh jamaah rasanya tidak tepat. Kalaulah mereka tidak memanfaatkan dengan maksimal maka itu adalah masalah mereka sendiri, berarti mereka tidak memanfaatkan hak mereka atau mereka melalaikan kewajiban beragama.

Berbeda dengan jika alasannya kita perduli pada jamaah. Kalau memang masjid perduli dengan kehidupan beragama jamaahnya bahwa kewajiban untuk melaksanakan shalat wajib berjamaah di masjid, namun tidak dilakukan. Hal ini tidak dapat dikontrol oleh siapapun kecuali oleh pribadi-pribadi jamaah sendiri. Keperdulian para pemuka agama dan mubaligh hanya terbatas pada sekedar menyampaikan seruan.

Akan lebih salah kalau misalnya kekuatiran sepinya masjid menjadikan kita tidak bisa membanggakan agama kita. Syiar agama harusnya ditunjukkan pada tingkah laku umat dalam bermasyarakat, sejauh mana kita bermanfaat bagi manusia lain. Karena pengertian syiar adalah lebih kepada kesalehan sosial dalam hubungan antar manusia dan lingkungan hidup, sementara hubungan dengan Tuhan tetap menjadi hak perogratif pribadi atau kesalehan personal.

Kenapa masjid sepi setelah puasa, menurut pengamatan saya karena cara mendekati Islam selama ini salah atau lebih tepat tidak lengkap. Sebagian besar umat mendatangi masjid pada bulan puasa karena keinginan untuk mengumpulkan pahala sebesar-besarnya. Ibadah apapun pada bulan puasa akan diberi pahala berlipat. Pendekatan demikian yang dominan mereka terima sedari kecil sejak mulai mengenal Islam, dan itu sangat kental mewarnai watak dan karakter serta perilaku beribadah umat.

Sebuah kerja besar umat Islam agar penerapan konsep Islam rahmatan lil-alamin, adalah dengan membentuk watak dan karakter serta perilaku sejak usia dini. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda: ”Tiap-tiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci hingga dapat berbicara, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi”. Hadist ini sebetulnya memberikan suatu kosep pendidikan bahwa pembentukan watak harus dimulai sejak usia dini. Pendidikan sejak dini dilakukan baik oleh orang tua biologis maupun orang tua sosial. Dari usia dini mereka harus diberi pengertian dan contoh bahwa masjid adalah tempat yang menyenangkan. Mereka harus dibuat rileks dalam masjid, bahwa masjid memberikan rasa aman dan tempat berlindung, bukan sebagai tempat yang menakutkan.

Lebih jauh lagi, pengenalan agama seyogyanya dimulai dengan memberikan pelajaran tentang buruk dan baik, tanpa dikaitkan dengan fiqh yang kaku tentang pahala dan dosa. Termasuk dalam mengajarkan bagaimana adab didalam masjid. Inilah kerja besar Islam yang perlu dimulai sejak sekarang.

11 Oktober 2011.