Friday, December 12, 2008

Argumen, Nalar dan Pendidikan.

Anda mungkin pernah mengalami serempetan sewaktu mengendarai kendaraan dijalanan. Apalagi di Jakarta dengan lalu lintas yang padat, serempetan atau bahkan kecelakaan sangat mungkin terjadi. Saya beberapa kali mengalami kendaraan saya diserempet kendaraan lain, dan saya tidak dalam posisi salah. Pada kondisi ini sangat biasa, namun anehnya dan selalu saya mengalami reaksi pengemudi yang menyerempet marah-marah dan malah menuntut ganti rugi atas kerusakan kendaraannya.

Kemudian, coba perhatikan kebiasaan pengemudi dijalan umum, Anda akan menemukan ribuan pelanggaran ketertiban dan peraturan lalu lintas yang baku. Kebiasaan ini dilakukan oleh hampir segala lapisan masyarakat, tidak tergantung tingkat pendidikan mereka. Berhenti ditempat yang dilarang, atau berhenti seenaknya, dilakukan oleh kendaraan umum untuk menunggu atau menaikkan penumpang, sampai bapak-bapak parlente yang berhenti seenaknya membeli sesuatu diwarung yang diperlakukan sebagai warung “drive in”.

Pada contoh yang pertama terjadi pemaksaan kehendak bahwa yang bersalah dengan prinsip menggebrak duluan akan menjadi pemenang. Cara ini terlihat ada kemiskinan dalam kemampuan mencari solusi permasalahan dengan berargumen. Keunggulan manusia adalah memiliki akal pikiran yang dapat berargumen dengan nalar yang baik. Suatu pemaksaan dengan gebrakan memang alat untuk menang, tapi diterapkan dengan salah tanpa argumentasi yang nalar.
Pada contoh kedua yang menjadi issue adalah kesadaran kebersamaan diruang publik yang sangat rendah. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi seakan-akan ditolerir oleh semua pihak, baik dari sesama pemakai ruang publik maupun penegak hukum. Kalau ada pemakai jalan yang protes, biasanya akan dijawab dengan “jalan ini ‘kan milik bersama” atau “memangnya jalan ini punya moyang mu?” atau dengan kata lain “what’s wrong?” padahal sudah jelas “absolutely wrong”. Pelaku pelanggaran merasa tidak ada masalah, atau dengan kata lain kesalahan sudah jamak dan ditolerir. Kondisi ini hanya bermasalah bagi orang yang sadar dengan fungsi ruang publik dan cara bersikap didalamnya.

Dua contoh diatas adalah sebagian kecil dari perilaku masyarakat Indonesia berlalu lintas dijalan umum. Kalau dilakukan survey akan terdapat sederet panjang pelanggaran. Memang sikap berlalu lintas disatu negeri menunjukkan tingkat keberadaban bangsa yang tinggal dinegeri tersebut.

Satu contoh lagi, pada tahun 2007 yang lalu, saya membaca berita bahwa organisasi pengemudi angkutan umum di Bekasi melakukan mogok dan menyetop kendaraan angkutan perusahaan/pabrik. Mereka protes akan keberadaan angkutan perusahaan tersebut yang dianggap sebagai penyebab mereka kekurangan penumpang dan menurunnya pendapatan mereka.
Disini terlihat kembali kemiskinan dari argumen yang nalar telah sampai ketingkat komunitas atau organisasi. Argumen apa yang mendukung tindakan penyetopan angkutan perusahaan ini? Kalau sekiranya argument mereka dibenarkan bahwa penumpang angkutan umum berkurang dengan adanya kendaraan antar jemput perusahaan, maka secara logis semua kendaraan adalah competitor dari angkutan umum, dus apa semua kendaraan harus tidak beroperasi, sehingga semua orang naik angkutan umum?
Memang kebijakan publik pemerintah juga punya andil dalam masalah ini, namun sikap pengemudi angkutan umum adalah cerminan dari kemiskinan yang mendasar dari argumen yang nalar.

Contoh-contoh diatas hanya salah satu segi kehidupan yaitu berlalu lintas. Banyak segi kehidupan lain yang belum teramati, seperti pelanggaran kaki lima, perumahan liar dan sebagainya. Sengaja dipilih segi lalulintas karena lalulintas adalah perilaku masyarakat yang rutin setiap hari, yang berarti mencerminkan sikap dasar masyarakat dalam menghadapi masalah. Sikap-sikap dasar ini yang perlu diperhatikan dan mendapat perhatian serius untuk merubah perilaku bangsa menjadi lebih baik. Walaupun masalah yang timbul juga diakibatkan oleh salah urus pengelolaan oleh pemerintah, namun kalau sikap dasar masyarakat yang baik dan dapat berargumen dengan nalar, maka pasti akan dapat merubah pola salah urus tersebut.

Untuk mengatasi masalah ini tidak cukup hanya dengan law enforcement. Tapi harus lebih mendasar yaitu melalui pendidikan. Terutama pendidikan dasar yang sangat berpengaruh pada kebiasaan seseorang. Kebiasaan atau habit, adalah kunci untuk mendapatkan masyarakat yang berdisiplin dan berpikir argumentatif.
Dari jenjang pendidikan dasar, harus diterapkan pendidikan rasa melalui etika serta pendidikan yang memperkenalkan proses. Etika akan mempekenalkan rambu kehidupan, dan membentuk pribadi yang jujur, seterusnya akan membentuk kebiasaan yang menjadi habit dan akhirnya membentuk moral seseorang. Sementara pengenalan atas proses adalah menumbuhkan pengertian atas alur yang mengajarkan bahwa sesuatu terjadi melalui proses yang teratur, tidak bisa dengan extract atau crash program.

Kalau saja ada yang memperhatikan masalah ini dengan serius sudah barang tentu dapat dibuat program untuk memperbaiki dan kalau program dilaksanakan maka akan ada kemajuan kearah perbaikan. Karena untuk merubah bangsa ini memang butuh waktu dan proses, jadi harus dimulai dari sekarang, dengan membenahi pendidikan secara radikal.