Monday, September 01, 2008

Puasa Tanpa Pamrih

Ramadhan datang silih berganti setiap tahun. Bulan yang dinantikan oleh ummat Islam. Bulan dimana diwajibkan untuk melakukan puasa, menahan lapar dan haus serta menahan amalan lain yang biasanya boleh dilakukan pada siang hari.

Kita, ummat yang sejak dilahirkan sudah menjadi Islam mungkin mengalami proses yang sama ketika akan memasuki bulan puasa. Semasa kanak-kanak disuruh orang tua berpuasa dengan iming-iming materi sampai surga dan neraka. Kita akan berpuasa meskipun menjadi beban karena harus menahan lapar dan haus. Puasa dirasakan sebagai penghalang untuk bersekolah maupun bermain. Namun kita tetap berpuasa karena takut sama orang tua dan juga takut masuk neraka. Kita berpuasa karena ingin masuk sorga.

Kemudian beranjak dewasa, mulai dirasakan sebagai suatu keharusan karena diwajibkan secara syar’i. Kewajiban adalah sesuatu yang mau tak mau harus dita’ati secara sukarela, walaupun kadang-kadang dalam hati kecil sebenarnya ada ketidak nyamanan. Masa dewasa kita punya justifikasi yang lebih canggih, bahwa puasa baik untuk kesehatan, puasa meningkatkan itensitas ibadah sehingga dapat mengumpulkan pahala. Tanpa disadari kesemua alasan ini adalah alasan yang menunjuk pada diri sendiri, alasan untuk kepentingan pribadi, singkatnya untuk memuaskan ego. Jadilah kita tetap berpuasa, karena takut dengan ancaman masuk neraka. Kita berpuasa karena ingin masuk sorga.

Jadi puasa dewasa dan kanak-kanak sama saja, puasa dengan pamrih tidak mau masuk neraka, dan ingin masuk sorga.

Konsep hidup dalam Islam adalah "innalillahi wa inna ilaihi raji’un", sesungguhnya dari Nya (yang Haqq) dan kepada Nya akan kembali. Jelas konsep dasar Islam adalah kembali kepada al-Haqq. Karena tujuannya adalah al-Haqq maka orientasi utama pun adalah al-Haqq.

Agama adalah jalan menuju al-Haqq, sedangkan pamrih (e.g. sorga dan neraka) adalah iming-iming, seyogyanya semakin dewasa cara beragama semakin luruh iming-iming tersebut dan semakin jelas keinginan menyatu dengan al-Haqq, sehingga “aku” tidak lagi exist yang ada hanya Dia.

Allah memerintahkan orang-orang beriman berpuasa dibulan ramadhan agar manusia bertaqwa “la’allakum tattaqun”. Taqwa tidak lain menjadikan diri fana dan tunduk kepada al-Haqq. Tuhan menjanjikan dalam hadis qudsi yang intinya mengatakan semua ibadah adalah untuk manusia kecuali puasa adalah untuk Ku. Jadi berpuasa hendaknya dilakukan dengan ikhlas, hanya untuk Allah semata.

Berbeda dengan ibadah-ibadah seperti shalat dimana kita harus melakukan gerakan dan bacaan, atau zakat yang harus melakukan sesuatu untuk memberikan harta; haji harus melakukan tawaf dan sa’i; tapi puasa sebenarnya ibadah untuk tidak melakukan apa-apa, dilarang makan minum dan beberapa amalan lainnya. Hakekat puasa adalah kita menuju al-Haqq. Kalau berpuasa mengharap surga, atau menghindarkan neraka, artinya kita mementingkan diri sendiri, memuaskan ego, memuaskan ke-aku-an untuk hidup nikmat. Padahal “ilaihi raji’un” mengandung pesan bahwa hanya Dia sang al-Haqq lah yang dituju, hanya Dia yang menjadi tujuan satu-satu nya.

Puasa sebagai perintah syar’i harus dilakukan sebagai tanda keta’atan. Ta’at saja tidaklah cukup, karena sekadar ta’at hanya sekedar kepatuhan. Kepatuhan tidak cukup menunjukkan ketundukan sebagai ciri taqwa. Ketundukan adalah makna hakiki dari Islam. Kalau ta’at dan patuh saja ibarat ta’at dan patuh kepada majikan tapi tidak tunduk dan lebur dengan majikan. Untuk itu berpuasa harus disikapi dengan kepatuhan dan tunduk tanpa pamrih, ketundukan sampai ke-aku-an atau ego hilang dan lebur didepan Nya, hanya Dia yang ada, aku menjadi fana.

Marilah kita berusaha berpuasa tanpa pamrih, berusaha melebur ke-aku-an (ego) karena keakuan atau ego menumbuhkan kesombongan. Banyak fatwa yang menasehatkan agar kita menghilangkan kesombongan, pada hal tidak hanya kesombongan yang harus dihilangkan karena hilangnya kesombongan tetap saja masih menyisakan subyeknya yaitu ke-aku-an (ego). Ke-aku-an/ ego yang merupakan subyek kesombonganlah yang harus fana.

Wallahu a’lam.

No comments: