Monday, December 10, 2007

Argumen, Nalar dan Pendidikan

Anda mungkin pernah mengalami kecelakaan sewaktu mengendarai kendaraan dijalanan. Apalagi di Jakarta dengan lalu lintas yang padat, kecelakaan atau sekurang-kurangnya serempetan, sangat mungkin terjadi. Saya beberapa kali mengalami diserempet kendaraan lain, dan saya tidak dalam posisi salah. Pada kondisi ini sangat biasa dan selalu saya mengalami bahwa pengemudi yang menyerempet akan langsung marah-marah dan malah menuntut ganti rugi.

Kemudian, coba perhatikan kebiasaan pengemudi dijalan umum, Anda akan menemukan ribuan pelanggaran ketertiban dan peraturan lalu lintas yang baku. Kebiasaan ini dilakukan oleh hampir segala lapisan masyarakat, tidak tergantung tingkat pendidikan mereka. Berhenti ditempat yang dilarang, atau berhenti seenaknya, yang umumnya dilakukan oleh kendaraan umum untuk menunggu atau menaikkan penumpang, sampai bapak-bapak parlente yang berhenti seenaknya membeli sesuatu diwarung yang diperlakukan sebagai warung “drive in”.

Pada contoh yang pertama terjadi pemaksaan kehendak bahwa yang bersalah dengan prinsip menggebrak duluan akan menjadi pemenang. Cara ini memperlihatkan ketidak mampuan dalam mencari solusi permasalahan dengan berargumen. Keunggulan manusia adalah memiliki akal pikiran yang dapat berargumen dengan nalar yang baik. Suatu pemaksaan dengan gebrakan memang alat untuk menang, tapi diterapkan dengan salah tanpa argumentasi yang nalar.
Pada contoh kedua yang menjadi issue adalah kesadaran kebersamaan diruang publik yang sangat rendah. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi seakan-akan ditolerir oleh semua pihak, baik dari sesama pemakai ruang publik maupun penegak hukum. Kalau ada pemakai jalan yang protes, biasanya akan dijawab dengan “jalan ini ‘kan milik bersama” atau “memangnya jalan ini punya moyang mu?” atau dengan kata lain “what’s wrong?” padahal sudah jelas “absolutely wrong”. Kondisi ini hanya bermasalah bagi orang yang sadar dengan fungsi ruang publik dan cara bersikap didalamnya. Jadi bagi pelaku pelanggaran ini mereka merasa tidak ada masalah, atau dengan kata lain kesalahan sudah jamak dan ditolerir.

Dua contoh diatas adalah sebagian kecil dari perilaku masyarakat Indonesia berlalu lintas dijalan umum. Kalau dilakukan survey akan terdapat sederet panjang pelanggaran. Memang sikap berlalu lintas disatu negeri menunjukkan tingkat keberadaban bangsa yang hidup dinegeri tersebut.

Satu contoh lagi, pada hari ini Senin 10 Desember 2007, saya membaca berita bahwa organisasi pengemudi angkutan umum di Bekasi melakukan mogok dan menyetop kendaraan angkutan perusahaan/pabrik. Mereka protes akan keberadaan angkutan perusahaan tersebut yang dianggap sebagai penyebab mereka kekurangan penumpang dan menurunnya pendapatan mereka.
Disini terlihat kembali kemiskinan argumen yang nalar telah sampai ketingkat komunitas atau organisasi. Argumen apa yang mendukung tindakan penyetopan angkutan perusahaan ini? Kalau sekiranya argumen mereka dibenarkan bahwa penumpang angkutan umum berkurang dengan adanya kendaraan antar jemput perusahaan, maka secara logis semua kendaraan adalah competitor dari angkutan umum, dus apa semua kendaraan harus tidak beroperasi, sehingga semua orang naik angkutan umum?
Memang kebijakan publik pemerintah juga punya andil dalam masalah ini, namun sikap pengemudi angkutan umum adalah cerminan dari kemiskinan argumen yang nalar.

Untuk mengatasi masalah ini tidak cukup hanya dengan law enforcement. Tapi harus lebih mendasar yaitu melalui pendidikan. Terutama pendidikan dasar yang sangat berpengaruh pada kebiasaan seseorang. Kebiasaan atau habit, adalah kunci untuk mendapatkan masyarakat yang berdisiplin dan berpikir argumentatif.
Dari jenjang pendidikan dasar, harus diterapkan pendidikan etika serta proses. Etika akan mempekenalkan rambu kehidupan, membentuk pribadi yang jujur, seterusnya akan membentuk kebiasaan yang menjadi habit dan membentuk moral seseorang. Sementara proses adalah pengertian atas alur yang mengajarkan bahwa sesuatu terjadi melalui aturan, tidak bisa dengan extract atau crash program. Jadi butuh waktu.

Contoh diatas, berlaku di republik ini tanpa ada yang memperhatikan secara serius. Kalau ada yang memperhatikan dengan serius sudah barang tentu ada kemajuan kearah perbaikan.
Karena untuk merubah bangsa ini memang butuh waktu dan proses, jadi harus dimulai dari sekarang, dengan membenahi pendidikan secara radikal.

No comments: