Imagine
there's no heaven
It's
easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...
(Imagine, by: John Lennon)
Penggalan lirik Imagine
oleh John Lennon mengispirasi saya menulis artikel ini.
Banyak orang merumuskan tujuan hidup, dengan segala
argumentasi untuk membenarkan tujuan-tujuan yang mereka rumuskan sendiri.
Dengan merumuskan tujuan, manusia menunjukkan bahwa dirinya eksis sebagai
sebuah ego. Karena merasa eksis maka diperlukan tujuan hidup. Padahal secara
sarkastik pertanyaan tentang tujuan hidup hanya dapat dijawab dengan: ‘Saya
tidak minta untuk hidup, maka saya tidak punya tujuan hidup.’
Tauhid telah mengajarkan bahwa yang ada hanya Dia, tidak ada
keberadaan yang lain kecuali manifestasi diri-Nya. Dengan demikian tujuan hidup
yang dirumuskan manusia adalah mengada-ada. Sesungguhnya, perjalanan hidup
manusia dapat diringkas dalam satu kalimat: “Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un”, yang artinya: Sesungguhnya kita berasal dari Dia dan sesungguhnya kita akan kembali
kepada Dia. Dalam ayat lain disebutkan “….ilaihi
turja’un,”….kepada-Nya kamu akan kembali. Demikian al-Quran menjelaskan.
Karena kehidupan ini sudah terjadi dan harus dijalani, maka
diperlukan suatu sistim pengendali untuk menuntun perilaku manusia agar tidak
terjadi kegaduhan sesama makhluk, agar keseimbangan tetap terjaga, agar
pengaruh positif tetap lestari dalam gerak maju kehidupan. Agar manusia patuh
kepada Pencipta yang juga adalah dari mana dirinya berasal. Patuh kepada
Pencipta direpresentasikan dalam laku positif, berbuat baik bagi sesama
makhluk, tidak merusak bumi.
Pengendalian atau penuntun agar manusia dapat bersikap, tertuang
dalam seperangkat ajaran berupa aturan, norma atau nilai-nilai. Ajaran ini dipercaya
telah disampaikan melalui pencerahan dari pribadi-pribadi terpilih. Kumpulan dari
ajaran ini kemudian yang kita kenal dengan agama. Agama sebagai penuntun hidup,
memberikan petunjuk dalam perjalanan kita untuk kembali kehadirat Nya tersebut.
Agama-agama mempercayai bahwa norma mereka berasal dari Sang
Pencipta untuk pedoman hidup dan mengatur hidup ummat manusia. Islam mengakui
bahwa Islam diurunkan Tuhan melalui nabi Muhammad saw, yang kemudian oleh para
pengikutnya di kompilasi dalam satu sistim norma agama.
Pahala dan Dosa.
Agama menuntun manusia sesuai dengan kemampuan manusia dalam
menerima ajarannya. Pada tahap pemula, manusia dirayu dengan imbalan-imbalan
atas perbuatan baik atau kepatuhan pada aturan, dan sebaliknya mendapat hukuman
kalau berbuat jahat atau melanggar aturan.
Perbuatan baik akan diganjar dengan ganjaran baik yang
sehari-hari kita kenal dengan pahala, sementara perbuatan buruk akan diganjar
dengan ganjaran buruk yang kita kenal sebagai dosa. Pahala sudah menjadi
istilah yang bermakna spesial, tak ubahnya ibarat piala kemenangan dalam suatu
perlombaan. Demikian juga halnya dengan dosa yang bermakna sebaliknya. Kelak
pada kehidupan akhirat, pahala dijanjikan dengan surga berupa tempat hidup yang
penuh dengan kenikmatan yang tak terbayangkan, dan dosa akan diganjar dengan
neraka tempat penyiksaan yang maha dahsyat yang tak terbayangkan juga.
Agar agama dipatuhi sebagai tuntunan, maka para mubalig dalam
khotbahnya selalu mengingatkan untuk selalu beribadah kepada Allah swt, agar
mendapat imbalan pahala dari Nya, sehingga diakhirat nanti dapat menikmati
tempat di surga. Kita harus menjauhi perbuatan dosa yang nanti akan diganjar
dengan siksaan dalam api neraka yang sangat pedih. Bagi umat Islam, dalam bulan
puasa Ramadhan yang diposisikan sebagai bulan yang penuh dengan pahala
berganda, para mubalig tak henti-hentinya menganjurkan perbuatan baik dan
ibadah, agar selama Ramadhan dapat mengoleksi pahala yang berlipat. Para
pemikir pembaharu juga meyakini bahwa untuk suatu penafsiran baru dalam berijtihad
telah dijanjikan bahwa jika iktihadnya benar akan memperoleh dua pahala, namun jika
ijtihadnya salahpun akan tetap memperoleh satu pahala.
Keadaan diatas menjadikan umat terlena dengan imbalan
sehingga lupa akan substansi. Semua perbuatan dan ibadah akhirnya dilakukan
demi imbalan pahala, ibarat transaksi dagang dengan Allah. Pahala diperlakukan
sebagai kumpulan nilai positif, sedang dosa sebagai kumpulan negatif, yang
nanti akan ditimbang mana yang lebih besar, yang akhirnya akan menentukan kita
masuk sorga atau neraka. Pemahaman ini menjadikan kaum muslimin mempunyai
sasaran kehidupan yang berorientasikan pada surga dengan cara mengumpulkan
pahala sebanyak-banyaknya, sebagi sebuah merit.
Tidak ada yang salah tentang pahala yang diganjar dengan
surga atau dosa yang diganjar neraka. Semuanya memang dijanjikan oleh Allah.
Janji ini berlaku untuk semua umat manusia, apapun latar belakang pendidikan
dan ilmunya.
Kita perlu memperhatikan bahwa ajaran dalam agama diturunkan
bagi semua kalangan ummat, berlaku universal. Untuk dapat berlaku universal kepada
semua umat pada semua tingkatan ilmu, maka standar yang dipakai barang tentu
adalah standar minimal. Itulah sebabnya pahala dan dosa dengan imbalan surga
dan neraka adalah standar minimal, yang dipakai untuk mengukur performansi
manusia, karena pahala dan dosa, surga dan neraka adalah iming-iming yang
paling mudah difahami oleh ummat manusia.
Peningkatan Standar.
Manusia sebagai makhluk berakal, secara fitrah harus
memanfaatkan akal semaksimal mungkin sehingga tingkat pemahaman sebagai makhluk
Allah juga harus meningkat. Janganlah selalu berada pada tingkat standar yang
umum. Standar tertinggi yang dicontohkan adalah standar khusus yang kita temui dalam
diri Rasulullah saw, dan kita seyogyanya mengejar standar tertinggi ini
semaksimal mungkin. Standar performansi yang paling tinggi adalah sebagaimana
tercermin dalam Sunnah Rasullullah saw. Muhammad saw ber-Islam dengan Islam yang
kaffah, berarti berserah diri sepenuhnya pada Al-Haqq. Kita akan kembali dengan
kepada Nya dalam keberserahan diri yang sempurna.
Dalam berserah diri semua yang kita lakukan adalah demi Dia
- lillahi ta’ala. Standar keber-agama-an
harusnya meningkat secara maksimal, tidak sekadar standar dasar pahala dan dosa,
tapi menjadi tingkat yang lebih tinggi yaitu lillahi ta’ala.
Sudah selayaknya bagi yang ingin maju dan meningkat
harkatnya berusaha mencapai standar yang lebih tinggi ini. Kita harus merubah
paradigma bahwa sorga tidak lagi menjadi satu-satunya destinasi kehidupan,
sehingga pahala tidak lagi relevan sebagai merit utama. Kita tidak lagi
beribadah dan beramal karena mengharapkan pahala dan surga saja, tidak lagi
menjauhi perbuatan menyimpang sekedar karena takut dosa dan neraka. Semua
perbuatan kita harus secara utuh dengan hati dan pikiran mengikuti niat yang
selalu dilafazkan yaitu karena Allah, bukan karena yang lain-lain.
Kita harus ‘naik kelas’ dari standar umum menjadi
standar khusus, dengan lillahi ta’ala
kita ilaihi raji’un. Simplifikasi
surga-neraka dan pahala-dosa biarlah bagi para pemula.
Desember 2012.